Thursday, July 19, 2018

Penataan Permodalan BPR

Otoritas Jasa Keuangan akan menata kembali klasifikasi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan kelas modal seperti halnya aturan BUKU (bank umum kelompok usaha) di bank umum. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK, Boedi Armanto mengungkapkan langkah tersebut seiring target otoritas untuk menata kembali BPR. "Melalui adanya aturan BUKU, akan terjadi perampingan di industri BPR,"  (Jakarta, Senin, 10 Juli 2017).
Budi merinci untuk BPR BUKU I disyaratkan memiliki modal di bawah Rp 15 miliar. Kemudian BPR BUKU II dengan modal antara Rp 15 miliar hingga Rp 50 miliar, serta BPR BUKU III dengan modal di atas Rp 50 miliar.
OJK bekerjasama dengan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) melakukan rebranding BPR. Langkah itu seiring target otoritas untuk mendongkrak daya saing BPR di industri perbankan. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad, menyatakan BPR memiliki potensi cukup besar untuk mendukung perekonomian.
Dengan jumlah sebanyak 1.621 unit, pada April 2017 BPR berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp 110,9 triliun, dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 95,5 triliun dan aset sebesar Rp 115,2 triliun. 
Muliaman mengungkapkan agar bisa mengantisipasi persaingan dengan bank umum dan lembaga keuangan mikro lainnya, BPR harus melakukan rebranding. Cara melakukan rebranding adalah dengan memasukkan konten teknologi dalam sistem operasional BPR.  Konten teknologi bisa memberikan aspek kemudahan dan kenyamanan kepada nasabah. 
Teknologi juga membantu meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kepercayaan nasabah kepada industri BPR. Pada akhirnya, suku bunga akan bergerak turun jadi lebih rendah. Untuk bisa menggunakan konten teknologi, BPR tidak bisa bergerak sendiri. Sebab investasi yang akan dikeluarkan cukup besar sehingga lebih efisien apabila dilakukan dengan cara sinergi. Sinergi bisa antara BPR dengan provider teknologi, antara BPR kecil dan BPR besar ataupun antara BPR dengan bank umum.
Kolaborasi Teknologi
Menurut Boedi, kolaborasi dengan pihak lain dalam menerapkan teknologi akan membuat BPR tidak mengeluarkan belanja modal (capital expenditure), namun hanya biaya operasional. Kolaborasi tersebut seperti dengan perusahaan asuransi, pembiayaan (multifinance), dan lainnya. Juga agar bisa memperkuat infrastruktur dan menambah banyak produk.
Ketua Umum Perbarindo Joko Suyanto, menambahkan pengembangan teknologi sudah dilakukan oleh BPR. Bentuk implementasinya tidak hanya dari sisi operasi internal, namun juga pelayanan kepada nasabah. Misalnya, bekerjasama dengan bank umum untuk transaksi payment point online bank (PPOB), agen e-cash, pembayaran listrik atau penyediaan ATM dengan BPR lain.
Kredit Tani
Direktur Penelitian dan Pengembangan OJK, Ayahandayani, mengungkapkan rebranding BPR bisa dilakukan dengan meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian rakyat. Salah satunya dengan terlibat dalam pengembangan sektor pertanian dan peternakan.
Ayahandayani menjelaskan potensi kredit di sektor pertanian masih cukup besar. Saat ini, pangsa pasarnya dari total kredit yang disalurkan baru mecapai 6,19 persen dengan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) 0,15 persen.
Namun di balik potensi tersebut, baik dari segi kredit pertanian maupun peternakan terdapat permasalahan yaitu terkait agunan. Karena itu, BPR perlu melakukan kerjasama dengan asuransi untuk bisa menekan risiko dari tidak adanya agunan. Bentuk kerjasama ini sudah dilakukan antara Perbarindo dan PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero).
Sebelumnya, Jasindo sudah terlibat dalam pengembangan sektor pertanian melalui Asuransi Usaha Tani Padi dan Asuransi Ternak Sapi. Kerjasama ini ditargetkan bisa memberikan skema kredit yang sesuai kepada petani dan peternak.
Sumber: https://www.bareksa.com/id/text/2017/07/10/ojk-tata-kembali-permodalan-bpr-ini-klasifikasinya/15940/news

No comments:

Post a Comment