Tugas utama manusia adalah membaca dan mempelajari
ilmu Allah, serta tanda-tanda kebesaran dan kasih sayang Allah S.W.T., bahkan
untuk memaksa manusia agar mau membaca dan belajar, sesekali Allah memberi
pelajaran kepada manusia dalam bentuk bencana atau lebih tepatnya ujian,
mulai dari yang relatif “ringan” hingga
yang relatif “berat”, semua sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada umat-Nya,
meskipun dalam beberapa kisah, bencana bisa juga sebagai bentuk
“murka” Allah atas ulah manusia yang melampaui batas, tetapi perlu juga diingat
sabda Rasulullah
tentang rahmat Allah, “Sesungguhnya
rahmat-Ku lebih besar
dari kemurkaan-Ku”.
Allah adalah Maha dalam segala hal, termasuk Maha Profesional dan Maha Adil, sehingga aturan pemaksaan membaca dan belajar diberlakukan kepada siapapun, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Para Rasul mendapatkan “bencana”, kesulitan, dan cobaan, jauh lebih berat dibandingkan dengan manusia biasa, karena mereka memiliki maqom dan kapasitas yang jauh di atas manusia biasa, sehingga untuk menyampaikan pesan mulia dari Allah, para Rasul dituntut untuk melakukan perjuangan yang maha hebat dan maha berat, tanpa campur tangan hak veto Allah dengan firman-Nya “Kun Fayakun”. Maka terjadilah “drama” pelepasan Adam dan Hawa pada benua yang berbeda, “drama” kejar-kejaran antara Firaun dan Musa, “drama” hijrah Rasulullah dari Makah ke Madinah, “drama” kemenangan perang Badar dan kekalahan perang Uhud. Beragam “drama” dengan pemeran utama para Rasul tersebut mengandung edukasi yang luar biasa bagi umat manusia yang mau membaca dan mempelajari pesan edukasi dari Allah S.W.T.
Allah adalah Maha dalam segala hal, termasuk Maha Profesional dan Maha Adil, sehingga aturan pemaksaan membaca dan belajar diberlakukan kepada siapapun, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Para Rasul mendapatkan “bencana”, kesulitan, dan cobaan, jauh lebih berat dibandingkan dengan manusia biasa, karena mereka memiliki maqom dan kapasitas yang jauh di atas manusia biasa, sehingga untuk menyampaikan pesan mulia dari Allah, para Rasul dituntut untuk melakukan perjuangan yang maha hebat dan maha berat, tanpa campur tangan hak veto Allah dengan firman-Nya “Kun Fayakun”. Maka terjadilah “drama” pelepasan Adam dan Hawa pada benua yang berbeda, “drama” kejar-kejaran antara Firaun dan Musa, “drama” hijrah Rasulullah dari Makah ke Madinah, “drama” kemenangan perang Badar dan kekalahan perang Uhud. Beragam “drama” dengan pemeran utama para Rasul tersebut mengandung edukasi yang luar biasa bagi umat manusia yang mau membaca dan mempelajari pesan edukasi dari Allah S.W.T.
COVID-19 DAN PERUBAHAN MINDSET
Jika pada
periode sebelumnya manusia telah disodori dengan beragam “drama” pandemi virus,
mulai dari ebola, flu babi, flu spanyol dan seterusnya, sekarang Allah S.W.T.
menghadirkan drama Pandemi COVID-19. Harus diyakini bahwa ada edukasi
dibalik semua “drama” peristiwa dan bencana, tugas manusia adalah
membaca dan mempelajari,
niteni dan menelisik, semua “drama” peristiwa dan
bencana yang dialaminya, secara ilmiah. Allah adalah Maha Ilmiah, maka tidak
ada satu peristiwapun yang terjadi tanpa basis ilmiah. Kehendak Allah yang
disampaikan melalui kata “Kun Fayakun”, itupun
selalu sesuai dengan kaidah ilmiah, yang disebut sebagai sunatullah.
Kemahabesaran Allah, sesungguhnya hanya akan
dikenali dengan gamblang melalui pemahaman atas wujud nyata atau eksistensi dari ilmu Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di luar angkasa, baik yang hadir melalui hiruk pikuk “drama bencana” maupun yang hadir melalui tanda-tanda
alam dengan “kesunyian dan keheningan”. Membaca dan belajar harus tetap
dilakukan, meskipun manusia tidak akan pernah mampu
mengenali semua ilmu Allah, karena jatah ilmu manusia diibaratkan hanya sebanyak
air yang menempel di ranting ketika ranting dicelupkan ke lautan ilmu Allah.
Rasulullah
pernah bersabda, "Allah
tidak akan menurunkan penyakit tanpa obat untuk penyakit yang
diturunkan-Nya". Kali ini Allah sedang
menurunkan Pandemi Covid-19, dan pasti dengan argumen ilmiah, juga pasti
dibarengi dengan obat untuk mengatasi pandemi, karena Allah Maha Profesional,
Maha Adil, dan juga Maha Konsekuen dengan janji-janji-Nya. Namun demikian, umat
Islam lebih banyak tidak mau mengenali kehendak Allah dengan mindset ilmiah,
melainkan hanya dengan keimanan non-analitik, sehingga doktrin-doktrin agama
gagal mengantarkan Islam menjadi contoh panutan dalam pengembangan ilmu dan teknologi,
yang secara tidak langsung menurunkan derajad ke-Mahailmiahan Allah
beserta Rasul dan agama yang diturunkan-Nya.
Alhamdulillah, meskipun Allah telah menurunkan obat COVID-19 hanya
melalui sinyal alamiah, telah ada yang mampu mengenali dan memecahkan kunci penyelesaian
pandemi, yaitu obat medis dan jarak fisik atau jarak sosial (physical or social distancing).
Mahluk Allah yang mau berfikir, akan mampu mengenali petunjuk Allah yang
diberikan melalui sinyal alamiah atau sunatullah, sebagaimana sinyal alamiah
yang diberikan Allah kepada hewan untuk mampu mengenali ilmu berkembang biak
serta beradaptasi dengan lingkungan hidupnya.
Alhamdulillah mayoritas umat Islam telah mampu menggunakan pendekatan
ilmiah dalam mensikapi pandemi, meskipun di bagian awal tetap ada yang
mensikapinya dengan pemikiran fatalisme atau kepasrahan total non-analitik,
yaitu bahwa COVID-19 datang dari Allah dan Allah pula yang akan
menghilangkannya, maka tak perlu melakukan beragam upaya penghindaran, cukup
berdoa dan jalani hidup secara normal dan pasrahkan segalanya kepada Allah
secara total. Penganut pemikiran fatalisme non-analitik lupa dengan kisah Umar
Bin Khatab yang mencegah pasukannya melewati wilayah Syam yang sedang terkena
pandemi, dengan argumen “menghindari suatu takdir untuk menuju takdir yang lain”,
juga lupa dengan anjuran Rasulullah tentang bagaimana mensikapi wabah.
COVID-19 DAN BENCANA ALAM
Bencana sering disimpulkan dengan mindset non-analitik sebagai kutukan Allah atas kemungkaran umat manusia.
Kesimpulan semacam ini bisa benar dan bisa juga salah (hanya Allah yang Maha
Tahu), yang dapat dipastikan adalah tidak akan membuat manusia bisa belajar dan
bertambah pintar dalam mengenali ilmu Allah SWT. Secara normatif, ada bencana yang
“murni” untuk keseimbangan alam atau “murni” proses alamiah, dan ada bencana
yang dipicu oleh ulah manusia, ada “natural disaster” dan ada “manmade disaster”.
Manusia harus “tanggap
ing sasmita” atau mampu menangkap informasi simbolik dari alam (Allah
SWT), tentang apa gerangan penyebab hadirnya bencana, dan menjadikannya sebagai
iktibar atau pedoman ilmiah dalam berfikir, berperilaku, bertinteraksi sosial, dan
berinteraksi dengan alam. Doktrin Islam, di samping untuk mengenali Allah SWT,
adalah untuk aturan atau pedoman dalam berfikir, berperilaku, berinteraksi
sosial, dan berinteraksi dengan alam.
Penggundulan hutan serta penggunaan area resapan air atau DAS (Daerah
Aliran Sungai) untuk pemukiman, adalah jelas-jelas tindakan tidak ilmiah atau
tindakan jahiliah yang pada saatnya akan menimbulkan manmade disaster yang sangat dahsyat,
misalnya dalam bentuk banjir, yang bisa membunuh dan memusnahkan segala yang
dilewatinya. Pada saat ini, rusaknya hutan sebagai paru-paru alam telah
diperparah dengan pencemaran udara yang akut, serta beragam pencemaran
lingkungan hidup yang lain, mulai dari sungai hingga lautan, yang diduga telah
menjadi penyebab utama anomali musim serta penurunan kuantitas serta kualitas
produksi pangan sebagai sumber hidup dan kehidupan manusia. Ingat Sindrom Minamata
di Jepang yang dikenal dengan Minamata Disease (MD), sebagai akibat dari
konsumsi ikan laut yang telah tercemar merkuri di teluk Minamata, yang telah
menimbulkan penyakit kelainan syaraf yang mengerikan, yang juga telah terjadi
di perairan Minahasa, Sulawesi Utara, dan tidak menutup kemungkinan terjadi
pula di lautan Indonesia yang lain.
Kerusakan alam dan lingkungan yang luar biasa, sebagai akibat dari pola
hidup dan perilaku manusia yang tidak terkendali (melampaui batas), telah menjadi
penyebab utama munculnya beragam penyakit yang harus dihadapi manusia, mulai dari penyakit degeneratif hingga munculnya beragam virus varian baru semacam COVID-19, yang
ternyata skala pandeminya mampu melampaui varian virus periode sebelumnya. Gerakan
penghentian COVID-19 tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi harus dilakukan
bersama-sama dan komprehensif.
Pelestarian hutan, pelestarian lingkungan, kebersihan lingkungan,
penurunan pencemaran lingkungan, harus dilakukan secara bersama-sama, berbasis
pada kesadaran bersama, berbasis pada perombakan budaya, baik melalui edukasi
maupun melalui undang-undang dan peraturan yang bersifat memaksa, sebagaimana
yang terjadi di negara tetangga kita Singapura, dengan slogannya Singapore is a
Fine City. Insya Allah, budaya Ilmiah, budaya hidup sehat, budaya disiplin,
budaya keteraturan, budaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan, budaya
tidak berlebihan, adalah budaya yang ditawarkan oleh Islam. Semoga kehadiran
COVID-19 bisa memaksa dan menyadarkan umat manusia untuk lebih berbudaya dalam
menjalani hidup, aamiin YRA.