Saturday, April 25, 2020

MEMAKNAI PEMBELAJARAN DARI COVID-19


Tugas utama manusia adalah membaca dan mempelajari ilmu Allah, serta tanda-tanda kebesaran dan kasih sayang Allah S.W.T., bahkan untuk memaksa manusia agar mau membaca dan belajar, sesekali Allah memberi pelajaran kepada manusia dalam bentuk bencana atau lebih tepatnya ujian, mulai dari yang relatif “ringan”  hingga yang relatif “berat”, semua sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada umat-Nya, meskipun dalam beberapa kisah, bencana bisa juga sebagai bentuk “murka” Allah atas ulah manusia yang melampaui batas, tetapi perlu juga diingat sabda Rasulullah tentang rahmat Allah,  Sesungguhnya rahmat-Ku lebih besar dari kemurkaan-Ku”.

Allah adalah Maha dalam segala hal, termasuk Maha Profesional dan Maha Adil, sehingga aturan pemaksaan membaca dan belajar diberlakukan kepada siapapun, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Para Rasul mendapatkan bencana, kesulitan, dan cobaan, jauh lebih berat dibandingkan dengan manusia biasa, karena mereka memiliki maqom dan kapasitas yang jauh di atas manusia biasa, sehingga untuk menyampaikan pesan mulia dari Allah, para Rasul dituntut untuk melakukan perjuangan yang maha hebat dan maha berat, tanpa campur tangan hak veto Allah dengan firman-Nya “Kun Fayakun”. Maka terjadilah “drama” pelepasan Adam dan Hawa pada benua yang berbeda, “drama” kejar-kejaran antara Firaun dan Musa, “drama” hijrah Rasulullah dari Makah ke Madinah, “drama” kemenangan perang Badar dan kekalahan perang Uhud. Beragam “drama” dengan pemeran utama para Rasul tersebut mengandung edukasi yang luar biasa bagi umat manusia yang mau membaca dan mempelajari pesan edukasi dari Allah S.W.T.

COVID-19 DAN PERUBAHAN MINDSET

Jika pada periode sebelumnya manusia telah disodori dengan beragam “drama” pandemi virus, mulai dari ebola, flu babi, flu spanyol dan seterusnya, sekarang Allah S.W.T. menghadirkan drama Pandemi COVID-19. Harus diyakini bahwa ada edukasi dibalik semua “drama” peristiwa dan bencana, tugas manusia adalah membaca dan mempelajari, niteni dan menelisik, semua “drama” peristiwa dan bencana yang dialaminya, secara ilmiah. Allah adalah Maha Ilmiah, maka tidak ada satu peristiwapun yang terjadi tanpa basis ilmiah. Kehendak Allah yang disampaikan melalui kata  “Kun Fayakun”, itupun selalu sesuai dengan kaidah ilmiah, yang disebut sebagai sunatullah. 

Kemahabesaran Allah, sesungguhnya hanya akan dikenali dengan gamblang melalui pemahaman atas wujud nyata atau eksistensi dari ilmu Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di luar angkasa, baik yang hadir melalui hiruk pikuk  “drama bencana” maupun yang hadir melalui tanda-tanda alam dengan “kesunyian dan keheningan”. Membaca dan belajar harus tetap dilakukan, meskipun manusia tidak akan pernah mampu mengenali semua ilmu Allah, karena jatah ilmu manusia diibaratkan hanya sebanyak air yang menempel di ranting ketika ranting dicelupkan ke lautan ilmu Allah.

Rasulullah pernah bersabda, "Allah tidak akan menurunkan penyakit tanpa obat untuk penyakit yang diturunkan-Nya". Kali ini Allah sedang menurunkan Pandemi Covid-19, dan pasti dengan argumen ilmiah, juga pasti dibarengi dengan obat untuk mengatasi pandemi, karena Allah Maha Profesional, Maha Adil, dan juga Maha Konsekuen dengan janji-janji-Nya. Namun demikian, umat Islam lebih banyak tidak mau mengenali kehendak Allah dengan mindset ilmiah, melainkan hanya dengan keimanan non-analitik, sehingga doktrin-doktrin agama gagal mengantarkan Islam menjadi contoh panutan dalam pengembangan ilmu dan teknologi, yang secara tidak langsung menurunkan derajad ke-Mahailmiahan Allah beserta Rasul dan agama yang diturunkan-Nya.

Alhamdulillah, meskipun Allah telah menurunkan obat COVID-19 hanya melalui sinyal alamiah, telah ada yang mampu mengenali dan memecahkan kunci penyelesaian pandemi, yaitu obat medis dan jarak fisik atau jarak sosial (physical or social distancing). Mahluk Allah yang mau berfikir, akan mampu mengenali petunjuk Allah yang diberikan melalui sinyal alamiah atau sunatullah, sebagaimana sinyal alamiah yang diberikan Allah kepada hewan untuk mampu mengenali ilmu berkembang biak serta beradaptasi dengan lingkungan hidupnya.

Alhamdulillah mayoritas umat Islam telah mampu menggunakan pendekatan ilmiah dalam mensikapi pandemi, meskipun di bagian awal tetap ada yang mensikapinya dengan pemikiran fatalisme atau kepasrahan total non-analitik, yaitu bahwa COVID-19 datang dari Allah dan Allah pula yang akan menghilangkannya, maka tak perlu melakukan beragam upaya penghindaran, cukup berdoa dan jalani hidup secara normal dan pasrahkan segalanya kepada Allah secara total. Penganut pemikiran fatalisme non-analitik lupa dengan kisah Umar Bin Khatab yang mencegah pasukannya melewati wilayah Syam yang sedang terkena pandemi, dengan argumen “menghindari suatu takdir untuk menuju takdir yang lain”, juga lupa dengan anjuran Rasulullah tentang bagaimana mensikapi wabah.

COVID-19 DAN BENCANA ALAM

Bencana sering disimpulkan dengan mindset non-analitik sebagai  kutukan Allah atas kemungkaran umat manusia. Kesimpulan semacam ini bisa benar dan bisa juga salah (hanya Allah yang Maha Tahu), yang dapat dipastikan adalah tidak akan membuat manusia bisa belajar dan bertambah pintar dalam mengenali ilmu Allah SWT. Secara normatif, ada bencana yang “murni” untuk keseimbangan alam atau “murni” proses alamiah, dan ada bencana yang dipicu oleh ulah manusia, ada “natural disaster” dan ada “manmade disaster”.

Manusia harus “tanggap ing sasmita” atau mampu menangkap informasi simbolik dari alam (Allah SWT), tentang apa gerangan penyebab hadirnya bencana, dan menjadikannya sebagai iktibar atau pedoman ilmiah dalam berfikir, berperilaku, bertinteraksi sosial, dan berinteraksi dengan alam. Doktrin Islam, di samping untuk mengenali Allah SWT, adalah untuk aturan atau pedoman dalam berfikir, berperilaku, berinteraksi sosial, dan berinteraksi dengan alam.

Penggundulan hutan serta penggunaan area resapan air atau DAS (Daerah Aliran Sungai) untuk pemukiman, adalah jelas-jelas tindakan tidak ilmiah atau tindakan jahiliah yang pada saatnya akan menimbulkan manmade disaster yang sangat dahsyat, misalnya dalam bentuk banjir, yang bisa membunuh dan memusnahkan segala yang dilewatinya. Pada saat ini, rusaknya hutan sebagai paru-paru alam telah diperparah dengan pencemaran udara yang akut, serta beragam pencemaran lingkungan hidup yang lain, mulai dari sungai hingga lautan, yang diduga telah menjadi penyebab utama anomali musim serta penurunan kuantitas serta kualitas produksi pangan sebagai sumber hidup dan kehidupan manusia. Ingat Sindrom Minamata di Jepang yang dikenal dengan Minamata Disease (MD), sebagai akibat dari konsumsi ikan laut yang telah tercemar merkuri di teluk Minamata, yang telah menimbulkan penyakit kelainan syaraf yang mengerikan, yang juga telah terjadi di perairan Minahasa, Sulawesi Utara, dan tidak menutup kemungkinan terjadi pula di lautan Indonesia yang lain.

Kerusakan alam dan lingkungan yang luar biasa, sebagai akibat dari pola hidup dan perilaku manusia yang tidak terkendali (melampaui batas), telah menjadi penyebab utama munculnya beragam penyakit yang harus dihadapi manusia, mulai dari penyakit degeneratif hingga munculnya beragam virus varian baru semacam COVID-19, yang ternyata skala pandeminya mampu melampaui varian virus periode sebelumnya. Gerakan penghentian COVID-19 tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi harus dilakukan bersama-sama dan komprehensif.

Pelestarian hutan, pelestarian lingkungan, kebersihan lingkungan, penurunan pencemaran lingkungan, harus dilakukan secara bersama-sama, berbasis pada kesadaran bersama, berbasis pada perombakan budaya, baik melalui edukasi maupun melalui undang-undang dan peraturan yang bersifat memaksa, sebagaimana yang terjadi di negara tetangga kita Singapura, dengan slogannya Singapore is a Fine City. Insya Allah, budaya Ilmiah, budaya hidup sehat, budaya disiplin, budaya keteraturan, budaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan, budaya tidak berlebihan, adalah budaya yang ditawarkan oleh Islam. Semoga kehadiran COVID-19 bisa memaksa dan menyadarkan umat manusia untuk lebih berbudaya dalam menjalani hidup, aamiin YRA.