Friday, June 22, 2018

AA YKPN: Pengawasan Bank dan Jenis-Jenis Risiko Bank

Dalam menjalankan tugas pengawasan perbankan, saat ini OJK melaksanakan pengawasan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu:
  1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan/Compliance Based Supervision (CBS), yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pengawasan bank berdasarkan Risiko; dan
  2. Pengawasan Berdasarkan Risiko/Risk Based Supervision (RBS) yaitu pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawas bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu.
Pengawasan/pemeriksaan bank berdasarkan risiko dilakukan terhadap jenis-jenis risiko sebagai berikut:
  1. Risiko Kredit. Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.
  2. Risiko Pasar. Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh bank yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain suku bunga dan nilai tukar.
  3. Risiko Likuiditas. Risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
  4. Risiko Operasional. Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
  5. Risiko Hukum. Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhi syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.
  6. Risiko Reputasi. Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
  7. Risiko Stratejik. Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis
  8. Risiko Kepatuhan. Risiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundangundangan dan ketentuan lain yang berlaku.
  9. Risiko Imbal Hasil. Risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank.
  10. Risiko Investasi. Risiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil baik yang menggunakan metode net revenue sharing maupun yang menggunakan metode profit and loss sharing.
  11. Risiko Transaksi Intra Grup. Risiko akibat ketergantungan suatu entitas baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap entitas lainnya dalam satu konglomerasi keuangan dalam rangka pemenuhan kewajiban perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis baik yang diikuti perpindahan dana dan/atau tidak diikuti perpindahan dana.
  12. Risiko Asuransi. Risiko akibat kegagalan perusahaan asuransi memenuhi kewajiban kepada pemegang polis sebagai akibat dari ketidakcukupan proses seleksi Risiko (underwriting), penetapan premi (pricing), penggunaan reasuransi, dan/atau penanganan klaim.
Matrik Risiko


No
Jenis Resiko
1
2
3
1
Risiko Kredit
ya
ya
ya
2
Risiko Pasar
ya
ya
ya
3
Risiko Likuiditas
ya
ya
ya
4
Risiko Operasional
ya
ya
ya
5
Risiko Hukum
ya
ya
ya
6
Risiko Reputasi
ya
ya
ya
7
Risiko Stratejik
ya
ya
ya
8
Risiko Kepatuhan
ya
ya
ya
9
Risiko Imbal Hasil (Rate of return risk)
-
ya
-
11
Risiko Investasi (Equity Investment Risk)
-
ya
-
13
Risiko transaksi intra – grup
-
-
ya
14
Risiko asuransi
-
-
ya

1 = BUK, 2 = BUS/UUS, 3 = Konglomerasi




Catatan Istilah PBI No. 11/10/PBI/2009
  1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut BUK adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri; 
  2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
  3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari BUK yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah; 
  4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia;  
  5. Kantor Cabang Syariah yang selanjutnya disebut KCS adalah kantor cabang UUS yang bertanggung jawab kepada UUS yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor cabang pembantu syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri;
  6. Kantor di bawah Kantor Cabang Syariah adalah kantor cabang pembantu syariah dan kantor kas syariah; 
  7. Kantor Cabang Pembantu Syariah yang selanjutnya disebut KCPS adalah kantor cabang pembantu UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCPS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor di bawah kantor cabang pembantu syariah atau kantor kas syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri; 
  8. Kantor Kas Syariah yang selanjutnya disebut sebagai KKS adalah kantor kas UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS atau KCPS induknya, kecuali memberikan pembiayaan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KKS tersebut melakukan usahanya; 
  9. Layanan Syariah yang selanjutnya disebut LS adalah kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan dan pemberian jasa perbankan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah yang dilakukan di kantor cabang konvensional atau kantor cabang pembantu konvensional untuk dan atas nama KCS pada bank yang sama; 
  10. Kegiatan Perbankan Elektronis adalah kegiatan pelayanan jasa bank syariah yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang dimanfaatkan untuk pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, antara lain termasuk internet banking dan mobile banking; 
  11. Kegiatan Pelayanan Kas Syariah adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah menjadi nasabah UUS meliputi antara lain: (a) Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindahpindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen antara lain kas mobil, kas terapung atau counter bank non permanen; (b) Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara BUK yang memiliki UUS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga; (c) Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas atau non kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, termasuk ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui kerja sama dengan pihak lain; 
  12. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan UUS agar sesuai dengan Prinsip Syariah; 
  13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur UUS dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional bank seperti kepala divisi, atau pemimpin KCS; 
  14. Pemisahan (spin-off) adalah pemisahan usaha dari satu BUK menjadi dua badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

AA YKPN: Memaknai CAR, ROA, LDR, dan BOPO

CAR (Capital Adequacy Ratio)

CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan perbankan dalam menyediakan dana yang digunakan untuk mengatasi kemungkinan risiko kerugian. Rasio ini penting karena dengan menjaga CAR pada batas aman (minimal 8%), berarti juga melindungi nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Semakin besar nilai CAR semakin baik kemampuan bank dalam menghadapi kemungkinan risiko kerugian. CAR dapat diperoleh dengan membagi total modal dengan aset tertimbang menurut risiko (ATMR), seperti rumus sebagai berikut: CAR = Modal/ATMR x 100%.



ROA (Return On Assets)


ROA (Return On Assets) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perbankan dalam menghasilkan profit atau laba (bisa disebut profitabilitas) dengan cara membandingkan laba bersih dengan sumber daya atau total aset yang dimiliki. Fungsinya adalah untuk melihat seberapa efektif perbankan dalam menggunakan asetnya dalam menghasilkan pendapatan. Semakin besar nilai ROA artinya semakin baik kemampuan perbankan dalam menghasilkan laba. Rumus untuk menghitung ROA yaitu: ROA = Laba Bersih Sebelum Pajak/Total Aset x 100%.



LDR (Loan to Deposits Ratio)

LDR (Loan to Deposits Ratio) adalah rasio yang mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (bisa disebut likuiditas) dengan membagi total kredit terhadap total Dana Pihak Ketiga (DPK). Likuiditas perbankan perlu dikelola guna memenuhi kebutuhan saat nasabah mengambil dananya dan menyalurkan pinjaman (kredit) kepada peminjam (debitur). Jika nilai LDR terlalu tinggi, artinya perbankan tidak memiliki likuiditas yang cukup memadai untuk menutup kewajibannya terhadap nasabah (DPK). Sebaliknya, jika nilai LDR terlalu rendah berarti perbankan memiliki likuiditas yang cukup memadai tetapi mungkin pendapatannya lebih rendah, karena seperti yang diketahui dunia perbankan memperoleh pendapatan melalui kredit yang disalurkan. LDR dihitung dengan rumus sebagai berikut: LDR = Total Kredit Kepada Pihak Ketiga Bukan Bank/Total Dana Pihak Ketiga x 100%.

BOPO (Belanja Operasional terhadap Pendapatan Operasional)

BOPO (Belanja Operasional terhadap Pendapatan Operasional) merupakan rasio yang menggambarkan efisiensi perbankan dalam melakukan kegiatannya. Belanja operasional adalah biaya bunga yang diberikan pada nasabah sedangkan pendapatan operasional adalah bunga yang didapatkan dari nasabah. Semakin kecil nilai BOPO artinya semakin efisien perbankan dalam beroperasi. BOPO dihitung dengan rumus sebagai berikut: BOPO = Belanja Operasional/Pendapatan Operasional x 100%.

Sumber: http://macroeconomicdashboard.feb.ugm.ac.id/makna-car-roa-ldr-dan-bopo/

AA YKPN: Tata Kelola yang Baik (Good Corporate Governance) Pada BPR dan Manajemen Risiko

PRINSIP-PRINSIP GCG
  1. Keterbukaan (tranparancy)
  2. Akuntabilitas (accountability)
  3. Pertanggungjawaban (responsibility)
  4. Independensi (independency)
  5. Kewajaran (fairness)
AREA PENERAPAN GCG
  1. Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Direksi.
  2. Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Diwan Komisaris atau Dewan Pengawas.
  3. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas fungsi komite.
  4. Penanganan benturan kepentingan.
  5. Penerapan fungsi kepatuhan, audit internal, dan audit eksternal.
  6. Batas maksimum pemberian kredit (BMPK).
  7. Rencana bisnis BPR.
  8. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan.
BPR harus melakukan self assessment atau evaluasi diri atas kualitas pelaksanaan GCG tersebut dan melaporkan hasil evaluasi diri kepada OJK, Asosiasi BPR, dan 1 kantor media.

KOMPONEN RISIKO PADA BPR

  1. Risiko Kredit
  2. Risiko Operasional
  3. Risiko Kepatuhan
  4. Risiko Likuiditas
  5. Risiko Reputasi
  6. Risiko Stratejik
PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN MANAJEMEN RISIKO
  1. Pengawasan direksi dan dewan komisaris.
  2. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan limit.
  3. Kecukupan proses dan sistem.
  4. Sistem pengendalian internal yang menyeluruh.
PELAPORAN MANAJEMEN RISIKO KE OJK
  1. Laporan rencana tindakan.
  2. Laporan realisasi rencana tindakan.
  3. Laporan profil risiko.
  4. Laporan realisasi penerbitan produk.
  5. Laporan profil risiko yang lain.
MENGAPA GCG DIPERLUKAN OLEH BPR?
http://www.vedapraxis.com/release/peningkatan-tata-kelola-dan-manajemen-risiko-bpr

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu harapan pemerintah dalam mendorong kemajuan pemerataan ekonomi di daerah dan pertumbuhan ekonomi mikro. Peran serta BPR dalam melaksanakan berbagai usaha dalam membantu masyarakat daerah untuk memajukan ekonomi, memberikan kesadaran menabung, memberikan kredit, dan mewadahi pertumbuhan UKM/UMKM sangat diperlukan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia saat ini.


Harapan besar pemerintah tersebut tentunya harus didukung oleh kesiapan BPR dalam mengelola dan menyalurkan dana masyarakat dengan tata kelola yang baik, sehingga tujuan dan harapan pemerintah dapat tercapai. Dalam mendukung kesiapan BPR, pemerintah mendorong agar dilakukan perbaikan yang berkesinambungan pada BPR melalui peningkatan tata kelola yang baik (good corporate governance-GCG) dan penerapan manajemen risiko. Dengan meningkatkan penerapan GCG dan manajemen risiko, BPR dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan daya saingnya. Dorongan perbaikan GCG dan manajemen risiko untuk BPR ini dikukuhkan dengan dikeluarkannya peraturan OJK Nomor 4/POJK.03/2015 tentang “Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat” dan Nomor 13/POJK.03/2015 tentang “Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Perkreditan Rakyat”

Peningkatan penerapan GCG dan manajemen risiko merupakan langkah yang sangat tepat bagi BPR untuk dapat menciptakan BPR yang dapat bertahan dan tangguh dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, dengan menerapkan etika bisnis yang baik, sehingga dapat mewujudkan iklim usaha perbankan yang sehat dan transparan. Komitmen BPR terhadap penerapan GCG dan Manajemen Risiko yang konsisten, akan mampu menjauhkan BPR dari berbagai masalah yang berisiko tinggi terhadap kelangsungan usaha Bank.
Kedua hal tersebut bukanlah hal yang asing lagi bagi Bank Umum, mengingat dorongan dan pengawasan atas penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko sudah digalakkan jauh hari oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pemenuhan atas peraturan ini merupakan tantangan tersendiri mengingat perbaikan atas GCG dan manajemen risiko erat sekali kaitannya dengan peningkatan biaya operasional, sementara di satu sisi pemerintah terus berupaya mendorong perbankan untuk dapat mengurangi biaya operasional  sehingga dapat memberikan suku bunga kredit yang terjangkau bagi masyarakat.
Penerapan GCG pada BPR
Penerapan GCG bukan suatu hal yang asing lagi bagi perusahaan di Indonesia. Penerapan GCG mencakup berbagai aspek diantaranya pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris serta komite pendukungnya, pengelolaan benturan kepentingan (conflict of interest), pengelolaan fungsi kepatuhan dan audit, penerapan manajemen risiko dan pengendalian internal, penentuan batas kredit, perencanaan bisnis, serta transparansi kondisi perusahaan.

Dalam menerapkan tata kelola tersebut, harus didasari oleh prinsip-prinsip utama GCG yang biasa dikenal dengan sebutan prinsip TARIF (transparency, accountability, responsibility, independency, and fairness).
Penerapan GCG ini harus didukung oleh aturan dan pedoman pengelolaan, sehingga secara jelas dapat diterapkan oleh seluruh elemen perusahaan, dan pelaksanaannya harus di evaluasi secara berkala. Seperti disebutkan dalam peraturan OJK, bahwa pelaksanaan GCG harus di evaluasi (self assessment) dan dilaporkan setiap tahunnya.

Langkah dalam menerapkan peraturan GCG dan Manajemen Risiko
Walaupun BPR diberikan waktu implementasi peraturan Tata Kelola dan Manajemen Risiko sebelum diberlakukan sanksi, namun persiapan atas pemenuhan peraturan tersebut harus segera dimulai sejak dini. Hal ini penting sehingga manajemen BPR dapat mengantisipasi kelemahan atau kekurangannya sehingga kepatuhan atas kedua aturan tersebut dapat terlaksana dengan baik pada waktu yang telah ditentukan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh BPR dalam menerapkan aturan ini diantaranya:
  1. Memastikan penerapan yang praktis namun efektif
  2. Dukungan Manajemen Puncak
  3. Evaluasi dan perbaikan secara berkesinambungan

Tuesday, June 5, 2018

AA YKPN: Mengenal Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan di Sektor Jasa Keuangan (SJK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Visi OJK

Menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.

Misi OJK
  1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.
  2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
  3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Tujuan OJK


OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di
dalam SJK :
  1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.
  2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
  3. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Nilai-Nilai Strategis OJK
  1. Integritas adalah bertindak objektif, adil, dan konsisten sesuai dengan kode etik dan kebijakan organisasi dengan menjunjung tinggi kejujuran dan komitmen.
  2. Profesionalisme adalah bekerja dengan penuh tanggung jawab berdasarkan kompetensi yang tinggi untuk mencapai kinerja terbaik.
  3. Sinergi adalah berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal secara produktif dan berkualitas.
  4. Inklusif adalah terbuka dan menerima keberagaman pemangku kepentingan serta memperluas kesempatan dan akses masyarakat terhadap industri keuangan.
  5. Visioner adalah memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat ke depan (Forward Looking) serta dapat berpikir di luar kebiasaan (Out of The Box Thinking).
Fungsi dan Tugas OJK

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan
dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam SJK. Selain itu, OJK melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap:
  1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
  2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan 
  3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lainnya.
Organisasi OJK

OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner (DK) beranggotakan sembilan orang yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden serta bersifat kolektif dan kolegial, dengan susunan sebagai berikut:
  1. Seorang Ketua merangkap anggota.
  2. Seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota.
  3. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota.
  4. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota.
  5. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota.
  6. Seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota.
  7. Seorang anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
  8. Seorang anggota Ex-Officio dari Bank Indonesia (BI) yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, dan 
  9. seorang anggota Ex-Officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
Sumber: Booklet Perbankan Indonesia 2018

AA YKPN: Tata Cara Penyampaian Laporan BMPK dan Koreksi Laporan BMPK

POJK NOMOR 49 /POJK.03/2017

Pasal 18
  1. BPR wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPK kepada Otoritas Jasa Keuangan secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan setiap bulan secara benar, lengkap, dan tepat waktu.
  2. Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, BPR menyampaikan laporan secara daring (online) kepada Bank Indonesia melalui aplikasi Laporan Berkala BPR.
  3. Laporan BMPK  meliputi: (a.) penyediaan Dana kepada Pihak Tidak Terkait yang melanggar dan melampaui BMPK dan (b.) seluruh Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait.
Pasal 19

  1. BPR bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi laporan BMPK yang disampaikan.
  2. Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPK yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK secara daring (online) sesuai ketentuan.

Pasal 20
  1. Kewajiban penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2) dikecualikan dalam hal: (a.) BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online), (b.) BPR baru beroperasi, dengan batas waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional, (c.) BPR mengalami gangguan teknis, atau (d.) terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada pangkalan data (database) atau jaringan komunikasi Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
  2. BPR yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c menyampaikan surat pemberitahuan disertai penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
  3. BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online) setelah kegiatan operasional kembali berjalan secara normal.
Pasal 21
  1. (1) BPR yang tidak dapat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, wajib menyampaikan secara luring (offline), berupa rekaman data dalam bentuk cakram digital (compact disk) atau media perekam data elektronik lain disertai hasil validasi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
  2. Dalam hal penyampaian melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, BPR menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK berupa rekaman data dalam bentuk cakram digital (compact disk) atau media perekam data elektronik lain disertai hasil validasi kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 22
  1. Laporan BMPK wajib disampaikan oleh BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
  2. Apabila tanggal 14 jatuh pada hari libur, BPR yang menyampaikan laporan BMPK secara luring (offline) wajib menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya.
  3. BPR dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPK pada tanggal diterimanya laporan BMPK oleh Otoritas Jasa Keuangan.
  4. Dalam hal BPR menyampaikan laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2), BPR dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPK pada tanggal diterimanya laporan BMPK oleh Bank Indonesia.
  5. Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPK yang telah disampaikan, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan secara daring (online) paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
  6. Apabila tanggal 20 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari libur, BPR yang menyampaikan koreksi laporan BMPK secara luring (offline) wajib menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya.
  7. Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, BPR menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR.
  8. BPR dinyatakan telah menyampaikan koreksi laporan BMPK pada tanggal koreksi laporan BMPK diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan atau oleh Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
Pasal 23
  1. BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) BPR belum menyampaikan laporan BMPK.
  2. BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPK apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK.
  3. BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK apabila sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan BPR belum menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK.
  4. BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetap wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK.
Pasal 24
  1. Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan koreksi terhadap pelaksanaan ketentuan BMPK oleh BPR.
  2. BPR wajib melakukan koreksi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan BMPK kepada Otoritas Jasa Keuangan.
  3. Dalam hal terdapat koreksi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR wajib menyampaikan koreksi laporan BMPK kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau sejak tanggal exit meeting.
  4. Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 25
  1. BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK.
  2. BPR dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dalam hal sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau sejak tanggal exit meeting, BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK.
  3. BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan koreksi laporan BMPK.
Pasal 26 KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEURE)

  1. BPR yang mengalami keadaan kahar (force majeure) selama paling singkat satu periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (3).
  2. BPR yang mengalami keadaan kahar kurang dari satu periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan ayat (6).
  3. BPR yang mengalami keadaan kahar, menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis dengan disertai penjelasan mengenai keadaan kahar yang dialami kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan dengan disertai penjelasan mengenai keadaan kahar yang dialami.
  4. BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (3) setelah kembali melakukan kegiatan operasional secara normal.
Pasal 28 SANKSI
  1. BPR yang melakukan Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penurunan tingkat kesehatan BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian tingkat kesehatan BPR.
  2. Terhadap setiap kesalahan laporan BMPK yang ditemukan berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per jenis kesalahan atau paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
  3. Dalam hal jenis kesalahan yang sama terjadi pada laporan bulanan BPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai laporan bulanan BPR dan atas kesalahan tersebut BPR telah dikenakan sanksi administratif berupa denda, BPR tidak lagi dikenakan sanksi administratif berupa denda atas jenis kesalahan yang sama tersebut pada laporan BMPK.
  4. BPR yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan.
  5. BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (2) dikenakan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
  6. BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14, serta Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa: (a.) teguran tertulis dan (b.) penurunan nilai kredit aspek manajemen dalam perhitungan tingkat kesehatan.
  7. BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14, serta Pasal 24 ayat (2) selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPR.
  8. BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK sesuai dengan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian sesuai koreksi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Otoritas Jasa Keuangan, dikenakan sanksi administratif berupa: (a.) pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan, dan/atau (b.) pembekuan kegiatan usaha tertentu.
  9. BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), terhadap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 155

Saturday, June 2, 2018

AA YKPN: Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) BPR

POJK NOMOR 49 /POJK.03/2017

Pasal 1

  1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  2. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disingkat BMPK adalah persentase maksimum realisasi penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal BPR.
  3. Penyediaan Dana adalah penanaman dana BPR dalam bentuk kredit dan/atau penempatan dana antar bank.
  4. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPR pada bank lain, dalam bentuk giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit yang diberikan, dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
  5. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR. 
  6. Pihak Terkait adalah perorangan, perusahaan atau badan yang mempunyai hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan dengan BPR. 
  7. Pihak Tidak Terkait adalah perorangan, perusahaan atau badan yang tidak mempunyai hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan dengan BPR. 
  8. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana pada saat direalisasikan terhadap Modal BPR dengan BMPK yang diperkenankan.
  9. Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPK.
Pasal 3

  1. BPR dilarang membuat perjanjian Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam hal perjanjian Kredit tersebut mewajibkan BPR untuk menyediakan dana yang akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran BMPK.
  2. BPR dilarang memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan Pelanggaran BMPK.  
Pasal 4
  1. BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet Kredit.
  2. BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain dihitung berdasarkan nominal Penempatan Dana Antar Bank.
Pasal 5 



Penyediaan Dana kepada seluruh Pihak Terkait ditetapkan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Modal BPR.  



Pasal 6 

Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada Pihak Terkait wajib memperoleh persetujuan dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris BPR.

Pasal 7 

Pihak Terkait meliputi:  
  1. Pemegang saham yang memiliki saham paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari modal disetor.
  2. Anggota Direksi.  
  3. Anggota Dewan Komisaris.  
  4. Pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal dengan nomor 1 s.d. 3 di atas.
  5. Pejabat eksekutif.  
  6. Perusahaan bukan bank yang dimiliki oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 5, yang kepemilikannya baik secara individu maupun keseluruhan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor perusahaan.  
  7. BPR lain yang dimiliki oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 5 yang kepemilikannya secara individu paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari modal disetor pada BPR lain tersebut; 
  8. BPR lain yang anggota Dewan Komisarisnya merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris BPR dan rangkap jabatan pada BPR lain dimaksud paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris pada BPR lain; 
  9. Perusahaan yang paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris merupakan anggota Dewan Komisaris BPR; dan 
  10. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf i.    
Pasal 8

Penyediaan Dana kepada pihak selain yang dimaksud dalam Pasal 7 dapat dikategorikan sebagai Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dalam hal Penyediaan Dana tersebut digunakan untuk keuntungan Pihak Terkait.

Pasal 9 BMPK Kepada Pihak Tidak Terkait
  1. Penyediaan Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR. 
  2. Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR. 
  3. Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Modal BPR.
Pasal 10 

Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dalam hal Peminjam mempunyai keterkaitan dengan Peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan, yang meliputi: 
  1. Perusahaan yang masing-masing paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) modal disetornya dimiliki oleh suatu perusahaan, badan usaha atau perorangan, atau secara bersama oleh suatu keluarga. 
  2. Perusahaan yang salah satunya memiliki paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) modal disetor perusahaan lainnya.
  3. Perusahaan yang paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris pada suatu perusahaan merangkap jabatan sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris  pada perusahaan lainnya.  
  4. Perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 3, namun terdapat bantuan keuangan dari salah satu perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya yang mengakibatkan adanya pengendalian oleh perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya, dan 
  5. Perusahaan dan/atau perorangan yang salah satunya bertindak sebagai penjamin Kredit atas Kredit yang diterima oleh perusahaan atau perorangan lainnya. 
Pasal 11 Pelampauan BMPK 

Penyediaan Dana oleh BPR dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK dalam hal terjadi selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang diperkenankan, yang disebabkan oleh:  
  1. Penurunan Modal BPR. 
  2. Penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan usaha, perubahan struktur kepemilikan, dan/atau perubahan kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam; dan/atau 
  3. Perubahan ketentuan. 
Pasal 12 PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN/ATAU PELAMPAUAN BMPK 
  1. BPR wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK.
  2. Rencana tindak untuk Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan setelah batas akhir penyampaian laporan BMPK bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelanggaran BMPK yang ditemukan dalam pemeriksaan. 
  3. Rencana tindak untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 angka 1 dan angka 2 wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan BMPK bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelampauan BMPK yang ditemukan dalam pemeriksaan. 
  4. Rencana tindak untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 angka 3 wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya  perubahan ketentuan. 
  5. Dalam hal batas waktu penyampaian rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) jatuh pada hari libur, BPR wajib menyampaikan  rencana tindak pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 13
  1. BPR wajib melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang memuat paling sedikit langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian.
  2. Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: (a.) untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat 3 (tiga) bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada OJK,  (b) untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 angka 1 dan angka 2, paling lambat 6 (enam) bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada OJK, dan (c) untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 angka 3, paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada OJK.
  3. Dalam hal sisa jangka waktu Penyediaan Dana sampai dengan jatuh tempo lebih pendek dari pada target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), target waktu penyelesaian paling lambat sampai dengan Penyediaan Dana jatuh tempo.
  4. Target waktu penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK atas Penempatan Dana Antar Bank yang tidak memiliki jatuh tempo berupa tabungan pada BPR lain, paling lambat 1 (satu) bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
  5. Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR melakukan penyesuaian rencana tindak yang disampaikan apabila menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan langkah-langkah dan/atau target waktu penyelesaian tidak mungkin tercapai.
Pasal 14
  1. BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tindak untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK disertai dengan bukti pendukung.
  2. Laporan pelaksanaan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak realisasi rencana tindak.
  3. Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tindak pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 15

Ketentuan BMPK dikecualikan untuk:
  1. Penempatan Dana Antar Bank pada bank umum, termasuk bank umum yang memenuhi kriteria Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
  2. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh: (A) agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito atau tabungan di BPR, (B) emas dan/atau logam mulia, dan/atau (C) Sertifikat Bank Indonesia,
Sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan atau penjualan yang tidak dapat dibatalkan dari pemilik agunan untuk keuntungan BPR penerima agunan, termasuk pencairan atau penjualan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok atau bunga.
    2. jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) paling singkat sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana, dan
    3. untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada pengecualian angka 2 huruf A dan huruf B, disimpan atau ditatausahakan pada BPR yang bersangkutan.
    Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia secara langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
    (BUMD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable);
    2. Harus dapat dicairkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak klaim diajukan, termasuk pencairan sebagian; dan
    3. Mempunyai jangka waktu penjaminan paling singkat sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan
    Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain sepanjang memenuhi persyaratan:
    1. Terdapat kesepakatan antara BPR yang menempatkan dana dengan BPR lain yang menerima Penempatan Dana Antar Bank;
    2. Dalam rangka menanggulangi kesulitan likuiditas BPR; dan
    3. Bagian Penempatan Dana Antar Bank dimaksud: (a) merupakan simpanan, iuran, atau porsi dana yang wajib ditempatkan oleh BPR pada BPR lain sesuai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf d angka 1; atau (b) berasal dari simpanan, iuran, atau porsi dana dari masing-masing BPR yang ditujukan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas masing-masing BPR.
    Pasal 16
    1. Penyediaan Dana BPR berupa Kredit dengan pola kemitraan inti-plasma atau pola Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait. 
    2. Pola kemitraan inti-plasma dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait, sepanjang memenuhi persyaratan: (a) kredit diberikan kepada kelompok, (b.) partisipan PHBK telah melalui seleksi, (c.) menghargai otonomi lembaga partisipan, (d.) mempromosikan tabungan dan mengaitkan tabungan dengan Kredit, (e.) mengenakan tingkat bunga pasar, (f. mengembangkan dan menerima agunan alternatif, dan (g. terdapat bantuan teknis atau pendampingan untuk membina kelompok.
    Pasal 17

    Kredit kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pegawai BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari BPR yang bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Kredit kepada Pihak Terkait.