Friday, July 20, 2018

Rencana Bisnis BPR dan BPRS

POJK No. 37/POJK.03/2016 tentang rencana bisnis BPR dan BPRS.

Pasal 2 

  1. BPR dan BPRS wajib menyusun Rencana Bisnis secara realistis setiap tahun.
  2. Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan Komisaris. 
  3. Rencana Bisnis yang disusun oleh BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana jangka pendek, jangka menengah, dan/atau rencana strategis jangka panjang.  
  4. Rencana strategis jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dan ditetapkan setiap 5 (lima) tahun
  5. Cakupan materi yang tercantum dalam rencana strategis jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diubah dalam periode 5 (lima) tahun tersebut sesuai kebutuhan BPR dan BPRS.  
Pasal 3 
  1. BPR dan BPRS harus menyusun Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dengan memperhatikan: a. faktor ekstern dan intern yang dapat memengaruhi kelangsungan usaha BPR dan BPRS; b. prinsip kehati-hatian; dan c. asas perbankan yang sehat. 
  2. Selain memperhatikan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPRS harus menyusun Rencana Bisnis dengan memperhatikan prinsip syariah. 

Pasal 4 
  1. Direksi wajib melaksanakan Rencana Bisnis secara efektif. 
  2. Direksi wajib mengomunikasikan Rencana Bisnis kepada: a. pemegang saham BPR atau BPRS; dan b. seluruh jenjang organisasi pada BPR atau BPRS.  
Pasal 5 
Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis. 

Pasal 6 
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit meliputi: 

  1. Ringkasan eksekutif; 
  2. Strategi bisnis dan kebijakan; 
  3. Proyeksi laporan keuangan; 
  4. Target rasio-rasio dan pos-pos keuangan; 
  5. Rencana penghimpunan dana; 
  6. Rencana penyaluran dana; 
  7. Rencana permodalan; 
  8. Rencana pengembangan organisasi, teknologi informasi dan Sumber Daya Manusia (SDM); 
  9. Rencana pelaksanaan kegiatan usaha baru atau rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru; 
  10. Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; dan 
  11. Informasi lainnya. 

Pasal 7 

  1. Ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a paling sedikit meliputi: a. rencana dan langkah-langkah strategis yang akan ditempuh oleh BPR atau BPRS; b. indikator keuangan utama; dan c. target jangka pendek dan jangka menengah. 
  2. Rencana dan langkah-langkah strategis yang akan ditempuh oleh BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a  dijelaskan dalam jangka pendek untuk periode 1 (satu) tahun, jangka menengah untuk periode 3 (tiga) tahun, dan rencana strategis jangka panjang untuk periode 5 (lima) tahun. 
  3. Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b  paling sedikit meliputi kinerja BPR atau BPRS dan proyeksi dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan BPR atau BPRS. 
  4. Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling sedikit meliputi kinerja BPR atau BPRS: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran, dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan BPR atau BPRS. 
  5. Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling sedikit meliputi kinerja BPR atau BPRS: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;  b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;   c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran; dan  d. proyeksi akhir tahun kedua dan ketiga yang disajikan secara tahunan,  dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan BPR atau BPRS. 
  6. Target jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah target kegiatan usaha BPR atau BPRS selama 1 (satu) tahun ke depan, paling sedikit meliputi penurunan Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF), peningkatan fungsi intermediasi, dan peningkatan efisiensi.
  7. Target jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bagi BPR atau BPRS adalah target kegiatan usaha selama 3 (tiga) tahun ke depan, paling sedikit meliputi upaya penguatan permodalan, serta penerapan tata kelola dan manajemen risiko BPR yang mengacu pada ketentuan mengenai tata kelola dan manajemen risiko bagi BPR atau BPRS. 
  8. Dalam hal belum terdapat ketentuan khusus yang mengatur mengenai penerapan tata kelola BPRS dan manajemen risiko BPRS, target penerapan tata kelola dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mengacu pada ketentuan mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan BPRS. 

Pasal 8

  1. Strategi bisnis dan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b paling sedikit meliputi: a. visi dan misi BPR atau BPRS; b. arah kebijakan BPR atau BPRS; c. kebijakan tata kelola dan manajemen risiko BPR atau BPRS; d. analisis posisi BPR atau BPRS dalam persaingan usaha berdasarkan aset dan/atau lokasi; e. strategi penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan jenis usaha; dan f. strategi pengembangan bisnis.
  2. Dalam hal belum terdapat ketentuan khusus yang mengatur mengenai kebijakan tata kelola BPRS dan manajemen risiko BPRS, kebijakan tata kelola dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu pada ketentuan mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan BPRS.
Pasal 9
  1. Proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c paling sedikit meliputi: a. neraca; dan b. laba rugi.
  2. BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menyampaikan proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran.
  3. BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menyampaikan proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran; dan d. proyeksi akhir tahun kedua dan ketiga yang disajikan secara tahunan.
Pasal 10
  1. Target rasio-rasio dan pos-pos keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d paling sedikit meliputi: a. target rasio keuangan pokok; dan b. target rasio pos-pos tertentu lainnya.
  2. BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menyampaikan target rasio keuangan pokok dan target pos-pos tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. target akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan c. target 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran.
  3. BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menyampaikan target rasio keuangan pokok dan target pos-pos tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. target akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; c. target 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran; dan d. target akhir tahun kedua dan ketiga yang disajikan secara tahunan.

Arah Kebijakan Pengembangan Perbankan Jangka Menengah 2015-2019

Hal-hal yang menjadi fokus OJK dalam pengembangan industri perbankan dalam jangka menengah dan diharapkan mampu merespon perubahan lingkungan internal dan eksternal industri perbankan antara lain:

  1. Pengoptimalan peran bank dalam upaya mendukung ketahanan pangan, energi dan sektor prioritas lain, pembiayaan sektor ekonomi tertentu,serta pengembangan dan penerapan prinsipprinsip pendanaan yang berkelanjutan;
  2. Penyempurnaan struktur kepemilikan bank untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan pengembangan pada tata kelola dan manajemen risiko serta penerapan standar internasional, baik dari sisi aturan, laporan, dan pengawasan; 
  3. Penerapan pengawasan terintegrasi berdasarkan risiko yakni dengan: (i) melakukan pengawasan terhadap konglomerasi perusahaan guna mendeteksi secara dini risiko yang dapat ditimbulkan terhadap sistem jasa keuangan; (ii) mengembangkan dan menerapkan mekanisme pengawasan berbasis risiko; dan (iii) meningkatkan pemeriksaan kepatuhan profesi dan lembaga penunjang; 
  4. Penguatan protokol manajemen krisis dan koordinasi lintas institusi melalui penyempurnaan mekanisme pencegahan dan penanganan krisis, penyempurnaan recovery and resolution plan, dan peningkatan koordinasi antar instansi terkait dalam penanganan krisis keuangan;
  5. Pembahasan mengenai kesamaan peluang (prinsip resiprositas) bagi perbankan Indonesia untuk memperluas jangkauan layanan di wilayah ASEAN dan mekanisme penyelesaian sengketa untuk mengantisipasi terjadinya dispute lintas batas di negara ASEAN. Sebagai bentuk antisipasi atas terjadinya persaingan dengan perbankan negara-negara ASEAN, OJK akan mendorong perbankan nasional untuk meningkatkan kapasitas baik permodalan maupun infrastruktur melalui proses konsolidasi agar tangguh bersaing di pasar keuangan ASEAN;
  6. Pengembangan produk dan/atau layanan keuangan mikro sesuai dengan kebutuhan usaha sehingga mendukung peningkatan akses pendanaan usaha oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Untuk meningkatkan kemampuan perbankan termasuk perbankan syariah dalam menjangkau masyarakat yang selama ini belum atau kurang mendapat akses keuangan, dilakukan melalui inisiatif keuangan inklusif dan Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif/Laku Pandai (branchless banking);
  7. Pengembangan infrastruktur teknologi informasi agar lebih optimal dan tetap dapat menjamin keamanan dan keandalan layanan aplikasi dan data/informasi;
  8. Penguatan fungsi dan peran Bank Pembangunan Daerah (BPD) dalam mendukung perekonomian daerah melalui: (i) penguatan kapasitas dan tata kelola BPD melalui program transformasi BPD yang telah diinisiasi oleh OJK dengan melibatkan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) dan Kementerian Dalam Negeri yang akan menjadi acuan dalam penguatan kapasitas dan tata kelola BPD, dan (ii) peningkatan komitmen pemilik untuk mendukung peranan dan kapasitas BPD;
  9. Peningkatan peran perbankan syariah dengan ekspansi usaha, jaringan, produk keuangan syariah, dan fair playing field bagi BUS dengan menyusun pengaturan yang mendorong pertumbuhan BUS sesuai dengan karakteristik usaha dan tingkat kesiapan industri; dan
  10. Penguatan struktur permodalan dan kelembagaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) melalui sinergi dengan bank umum dan meningkatkan komitmen pemilik terhadap peran BPR dalam rangka mendukung perekonomian daerah. Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan kualitas pengawasan terhadap BPR, OJK akan menerapkan pengawasan berbasis risiko.
Sumber: booklet perbankan Indonesia 2018

Thursday, July 19, 2018

Pertumbuhan Pengguna Fintect Tahun 2018

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan jumlah peminjam dana yang memanfaatkan jasa perusahaan teknologi finansial (financial technology atau fintech) terus bertambah. "Hingga Januari 2018, jumlah peminjam di perusahaan fintech mencapai 260 ribu orang," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Pak Wimboh Santoso dalam siaran resmi, Rabu, 14 Februari 2018.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Pak Wimboh saat menerima kunjungan Ratu Maxima Belanda. Ratu Maxima hadir sebagai United Nations Secretary General's Special Advocate (UNSGSA) untuk pembangunan inklusi keuangan. Menurut OJK, jumlah nilai pinjaman tercatat mencapai Rp2,56 triliun, yang bersumber dari penyedia dana sebanyak 101 ribu orang.
Pada pertemuan tersebut, Pak Wimboh juga menjelaskan program-program inklusi keuangan yang telah dijalankan OJK termasuk dua program inisiatif yang baru dikeluarkan yaitu KUR Klaster dan Bank Wakaf Mikro
Program KUR Klaster yaitu penyaluran KUR yang berasal dari perbankan kepada para pelaku usaha mikro, petani atau nelayan dengan pendampingan serta pemasaran produk yang sudah disiapkan oleh mitra usaha dari perusahaan BUMN, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Antar Desa (BUMADes) maupun swasta. Program ini akan melibatkan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memberikan pelatihan kepada calon penerima KUR.
Adapun Lembaga Keuangan Mikro Syariah, atau Bank Wakaf Mikro, adalah skema pembiayaan tanpa agunan dengan besaran maksimal Rp 1 juta dan margin setara 3 persen. Sama seperti KUR Klaster, program ini didukung pemberdayaan dan pendampingan bagi penerima fasilitas pembiayaan. "Total debitur dari Oktober 2017 sampai dengan Januari 2018 mencapai 1.500 orang," kata Pak Wimboh.
OJK juga akan terus mendorong program inklusi keuangan berbasis teknologi dengan penguatan Layanan Keuangan Tanpa Kantor Untuk Keuangan Inklusif (Laku Pandai) yang bersinergi dan saling melengkapi dengan Layanan Keuangan Digital (LKD) Bank Indonesia (BI) untuk meningkatkan aktivitas dan layanan produk keuangan yang bisa dimanfaatkan masyarakat.
Pada 2016, OJK telah mengeluarkan peraturan fintech pertama di Indonesia, yang mengatur kegiatan pinjaman peer to peer (P2P) untuk melindungi kepentingan nasabah. Sampai saat ini, telah terdaftar 33 perusahaan fintech P2P di OJK, termasuk fintech syariah. Masih ada 119 perusahaan lain yang masuk dalam daftar tunggu.
Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1060670/per-januari-2018-pengguna-fintech-tembus-260-ribu-orang

BI Bangun Desa Teknologi Keuangan

Teknologi keuangan (financial technology/fintech) kian berkembang pesat di Indonesia. Kendati belum ada regulasi menyeluruh yang mengatur sektor tersebut, fintech telah menyentuh kehidupan banyak masyarakat. Dalam rangka mengembangkan sektor tersebut, Bank Indonesia (BI) membentuk fintech office dan berencana akan membuat fintech village.


Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean mengatakan, fintech telah banyak membantu masyarakat kecil melalui peer to peer, crowdfunding dan ecommerce. “Mereka melayani berjuta UMKM untuk membuat penjualan semakin meningkat, misalnya melalui Go-Food penjualan UMKM meningkat 3-5 kali lipat
Oleh karena itu, BI mengembangkan fintech office untuk membantu startup yang baru berdiri 1-2 tahun. Banyak fintech yang bermanfaat bagi ekonomi. Ini perlu diatur dengan baik, tapi sebelum diatur kami beri masukan untuk masuk regulatory sandbox. Di sana mereka tidak diatur secara ketat, mereka diperbolehkan melakukan aktivitas tanpa aturan yang ada, namun tetap mewujudkan fintech yang sehat dan melindungi konsumen,” jelas Eni.
Eni menegaskan, fintech yang memberikan pinjaman nantinya juga harus disamakan dengan perbankan, dengan level of playing field yang tidak boleh terlalu longgar. Kini pihaknya pun baru akan melakukan investigasi bersama dengan fintech office BI untuk menghitung seberapa besar risiko fintech. Pasalnya, meski skalanya masih kecil, peer to peer lending dilakukan tanpa agunan.
Di lain pihak, e-commerce juga turut membantu perkembangan UMKM karena telah menjadi marketplace untuk menjual produk UMKM. Merespon perkembangan fintech, BI berencana untuk membuat fintech village (desa teknologi keuangan) untuk UMKM untuk meningkatkan kinerja penjualan UMKM. 
Hasil riset konsultan BI menunjukkan bahwa saat ini model bisnis yang berhasil bukan lagi mendapat pesanan dari tetangga, tetapi mendapat pesanan secara online. 
Sumber: http://mysharing.co/bi-akan-buat-desa-teknologi-keuangan/

Mengenal T-CASH

T-Cash, uang digital Telkomsel, menjadi salah satu layanan digital lifestyle yang sedang dikembangkan Telkomsel. Hingga akhir 2016 lalu, T-Cash diklaim telah dipakai lebih dari sejuta pelanggan Telkomsel. Hingga akhir 2017 nanti, Telkomsel menargetkan sebanyak 10 juta pelanggan sudah menggunakan layanan T-Cash. 

Telkomsel merasa yakin bisa mencapai target tersebut, berbekal 155 juta pelanggan yang dimiliki saat ini. T-Cash adalah layanan uang elektronik dari Telkomsel yang telah dirilis sejak 2010. Pada 2014 lalu, layanan ini diperbarui dengan dukungan teknologi Near Field Communication (NFC)

Layanan uang elektronik T-Cash telah mendapat izin penerbitan dari Bank Indonesia. Berbeda dengan pulsa, T-Cash dapat digunakan untuk berbagai transaksi seperti belanja, membayar tagihan, membayar merchant, isi pulsa, dan kirim uang. T-Cash juga merupakan upaya Telkomsel mendukung program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan pemerintah. 

Pelanggan Telkomsel bisa mengaktifkan layanan T-Cash dengan cara berikut ini: 1. Aktifkan T-Cash dengan menghubungi *800*88# melalui perangkat mobile. 2. Dapatkan stiker T-Cash di GraPARI terdekat. 3. Tempelkan stiker T-Cash pada smartphone (disarankan untuk mematikan fitur NFC yang terdapat pada smartphone atau tempel stiker di bagian yang tidak menutupi area NFC). 4. Customer service Telkomsel akan membantu pelanggan mengaktifkan nomor PIN T-Cash 5. 

Stiker T-Cash akan aktif pada transaksi pertama Jika layanan T-Cash sudah aktif, maka pelanggan dapat melakukan isi saldo T-Cash melalui berbagai cara, bisa melalui GrapaRi, ATM Bersama, atau gerai Indomaret terdekat. Setelah itu, pengguna bisa langsung menggunakan layanan T-Cash di merchant-merchant pilihan Telkomsel, seperti McDonald’s, The Coffee Bean, Baskin Robbins, Wendy’s, Seven Eleven, Cinema XXI, Blanja.com, Gramedia, dan lainnya.  
Sumber: https://tekno.kompas.com/read/2017/06/23/18050057/apa.itu.t-cash.dan.cara.menggunakannya

Belajar Dari Kang Kamil, BPR Melawan Rentenir

Ridwan Kamil mengungkapkan peran Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sangat dibutuhkan oleh masyarakat kelas bawah, karena banyak masyarakat kelas bawah masih bergantung pada rentenir. Ujung-ujungnya tercekik bunga yang tinggi.
Melihat itu, Ridwan Kamil menghimbau BPR agar tidak mau kalah dengan rentenir. Kalau bisa BPR “tiru” rentenir. Tiru yang dimaksud adalah dalam hal kemudahan kelas bawah menerima pinjaman.
Ia beranggapan, saat ini masyarakat kelas bawah sudah terintimidasi saat masuk bank, karena merasa tidak percaya diri. Sehingga rentenir menjadi alternatif untuk meminjam uang. “Kalau bisa tiru rentenir, beri kemudahan masyarakat kelas bawah,” kata Ridwan Kamil di acara Penganugerahan TOP 100 BPR The Finance di Jakarta, Jumat, 29 Juni 2018.
Lelaki yang akrab disapa kang Emil pun bercerita, dirinya berhasil membebaskan 16 ribu nasabah dari rentenir dengan masuk ke BPR Kota Bandung. Syaratnya mudah, hanya dengan membuka rekening di BPR Kota Bandung.
Adapun strategi yang dilakukan hanya dengan meluncurkan beberapa produk yang dapat mempermudah masyarakat kelas bawah dalam mendapat pinjaman. Salah satunya Kredit Mesra (Kredit Masjid Sejahtera). Dengan produk ini, masyarakat yang butuh pendanaan hanya perlu datang ke pengkolan masjid. Selain itu ada produk Melati (Melaju Melawan Rentenir) dan kredit Bagja (Bangunan Keluarga Sejahtera). 
http://infobanknews.com/kang-emil-minta-bpr-tiru-rentenir/

Empat Tantangan BPR Hindari Fraud

Ringkasan paparan Ketua Umum Perbarindo Joko Suyanto dalam One Day Workshop and Discussion Strategi Anti-Fraud: Metode Pendeteksian Pencegahan Fraud Dalam Operasional BPR yang diselenggarakan Infobank Institute bersama Perbarindo, Jakarta, Kamis, 18 Februari 2016.
Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia (Perbarindo) mengingatkan seluruh anggotanya agar mewaspadai empat tantangan yang bisa menyebabkan kejahatan perbankan (fraud) di BPR meningkat.
Tantangan pertama adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. Ketentuan tersebut menurutnya akan meningkatkan persaingan antara BPR dan bank umum. Hal ini akan memicu persaingan tinggi, penyaluran kredit tidak hati-hati, prinsip prudent terabaikan, NPL naik. 
Tantangan kedua adalah kucuran kredit usaha rakyat (KUR) dengan plafon Rp100 triliun dan bunga 9%. Kebijakan tersebut juga akan memicu persaingan dalam penyaluran kredit, dan bisa meningkatkan potensi fraud karena tidak hati-hati dalam pengucuran kredit oleh BPR.
Tantangan ketiga adalah Laku Pandai, meskipun saat ini mungkin belum begitu berasa, tetapi harus antisipasi, jangan sampai karyawan BPR merangkap menjadi agen, nanti ribet, terjadi bank dalam bank.
Kemudian keempat adalah berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Di satu sisi MEA diharapkan memicu pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain persaingan sumber dana dengan lembaga keuangan asing juga makin terbuka.
Untuk mengatasi tantangan tersebut di atas BPR harus mengoptimalkan unit pengawasan serta fungsi pengawasan.
Sumber: http://infobanknews.com/empat-tantangan-bpr-hindari-fraud/

Penataan Permodalan BPR

Otoritas Jasa Keuangan akan menata kembali klasifikasi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan kelas modal seperti halnya aturan BUKU (bank umum kelompok usaha) di bank umum. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK, Boedi Armanto mengungkapkan langkah tersebut seiring target otoritas untuk menata kembali BPR. "Melalui adanya aturan BUKU, akan terjadi perampingan di industri BPR,"  (Jakarta, Senin, 10 Juli 2017).
Budi merinci untuk BPR BUKU I disyaratkan memiliki modal di bawah Rp 15 miliar. Kemudian BPR BUKU II dengan modal antara Rp 15 miliar hingga Rp 50 miliar, serta BPR BUKU III dengan modal di atas Rp 50 miliar.
OJK bekerjasama dengan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) melakukan rebranding BPR. Langkah itu seiring target otoritas untuk mendongkrak daya saing BPR di industri perbankan. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad, menyatakan BPR memiliki potensi cukup besar untuk mendukung perekonomian.
Dengan jumlah sebanyak 1.621 unit, pada April 2017 BPR berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp 110,9 triliun, dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 95,5 triliun dan aset sebesar Rp 115,2 triliun. 
Muliaman mengungkapkan agar bisa mengantisipasi persaingan dengan bank umum dan lembaga keuangan mikro lainnya, BPR harus melakukan rebranding. Cara melakukan rebranding adalah dengan memasukkan konten teknologi dalam sistem operasional BPR.  Konten teknologi bisa memberikan aspek kemudahan dan kenyamanan kepada nasabah. 
Teknologi juga membantu meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kepercayaan nasabah kepada industri BPR. Pada akhirnya, suku bunga akan bergerak turun jadi lebih rendah. Untuk bisa menggunakan konten teknologi, BPR tidak bisa bergerak sendiri. Sebab investasi yang akan dikeluarkan cukup besar sehingga lebih efisien apabila dilakukan dengan cara sinergi. Sinergi bisa antara BPR dengan provider teknologi, antara BPR kecil dan BPR besar ataupun antara BPR dengan bank umum.
Kolaborasi Teknologi
Menurut Boedi, kolaborasi dengan pihak lain dalam menerapkan teknologi akan membuat BPR tidak mengeluarkan belanja modal (capital expenditure), namun hanya biaya operasional. Kolaborasi tersebut seperti dengan perusahaan asuransi, pembiayaan (multifinance), dan lainnya. Juga agar bisa memperkuat infrastruktur dan menambah banyak produk.
Ketua Umum Perbarindo Joko Suyanto, menambahkan pengembangan teknologi sudah dilakukan oleh BPR. Bentuk implementasinya tidak hanya dari sisi operasi internal, namun juga pelayanan kepada nasabah. Misalnya, bekerjasama dengan bank umum untuk transaksi payment point online bank (PPOB), agen e-cash, pembayaran listrik atau penyediaan ATM dengan BPR lain.
Kredit Tani
Direktur Penelitian dan Pengembangan OJK, Ayahandayani, mengungkapkan rebranding BPR bisa dilakukan dengan meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian rakyat. Salah satunya dengan terlibat dalam pengembangan sektor pertanian dan peternakan.
Ayahandayani menjelaskan potensi kredit di sektor pertanian masih cukup besar. Saat ini, pangsa pasarnya dari total kredit yang disalurkan baru mecapai 6,19 persen dengan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) 0,15 persen.
Namun di balik potensi tersebut, baik dari segi kredit pertanian maupun peternakan terdapat permasalahan yaitu terkait agunan. Karena itu, BPR perlu melakukan kerjasama dengan asuransi untuk bisa menekan risiko dari tidak adanya agunan. Bentuk kerjasama ini sudah dilakukan antara Perbarindo dan PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero).
Sebelumnya, Jasindo sudah terlibat dalam pengembangan sektor pertanian melalui Asuransi Usaha Tani Padi dan Asuransi Ternak Sapi. Kerjasama ini ditargetkan bisa memberikan skema kredit yang sesuai kepada petani dan peternak.
Sumber: https://www.bareksa.com/id/text/2017/07/10/ojk-tata-kembali-permodalan-bpr-ini-klasifikasinya/15940/news

Belajar Dari Kasus BPR Sambas

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sambas Arta di Kalimantan Barat, karena rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) kurang dari 0%.

Langkah tersebut sesuai Keputusan Anggota Dewan Komisioner (KDK) Nomor KEP-115/D.03/2018 pada 12 Juli 2018. Keputusan ini diambil sesuai dengan POJK Nomor 19/POJK.03/2017 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 56/SEOJK.03/2017 masing-masing tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang menyatakan PT BPR Sambas Arta sejak tanggal 5 April 2018 telah ditetapkan menjadi status Dalam Pengawasan Khusus.

Berdasarkan laporan resmi OJK, Kamis (12/7), status pengawasan khusus BPR Sambas Arta karena lemahnya pengelolaan manajemen BPR dalam memperhatikan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan asas perbankan yang sehat.
"Sampai batas waktu yang ditentukan, BPR gagal mencapai rasio KPMM paling kurang 8%, sebagai upaya penyehatan,".

Dengan ketidaksanggupan Pengurus dan Pemegang Saham dalam menyehatkan BPR, disertai kondisi keuangan BPR yang memburuk, maka OJK mencabut izin usaha BPR tersebut. 

Dengan pencabutan izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Sambas Arta, selanjutnya LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.

OJK mengimbau nasabah BPR Sambas Arta yang beralamat di Jl. Karang Intan No.35 Sakok, Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat, agar tetap tenang karena dana masyarakat di perbankan termasuk BPR dijamin LPS sesuai ketentuan yang berlaku.

Sumber: http://keuangan.kontan.co.id/news/ojk-cabut-izin-usaha-bpr-sambas-arta?
Report

Perbedaan BI dan OJK

Bank Indonesia adalah lembaga independen yang salah satu kewenangannya adalah mengatur Perbankan di seluruh Indonesia, sedangkan OJK adalah lembaga independen yang mengatur industri jasa keuangan di Indonesia. Namun karena industri jasa keuangan juga termasuk Perbankan, lalu apa bedanya BI dengan OJK? Mengapa keduanya sama-sama mengatur Perbankan?
Pertanyaan ini terjadi di masyarakat, terlebih sejak tahun 2012, ketika OJK secara resmi diumumkan berdiri dan memulai kiprahnya sebagai pengawas industri Jasa Keuangan di Indonesia. 
Tugas Utama Bank Indonesia
Bank Indonesia memiliki satu tugas utama, yaitu mencapai dan menjaga kestabilan nilai Rupiah. Untuk mencapai tujuan ini, BI memiliki tiga pilar penopang, yaitu :
  1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
  2. Mengatur dan Menjaga Sistem Pembayaran
  3. Stabilitas Sistem Keuangan
Ketiga pilar tersebut sangat terkait dengan industri Perbankan di Indonesia. BI melalui BI Repo Rate nya dapat mengendalikan bunga pinjaman dan bunga tabungan di Perbankan sehingga secara langsung dan tidak langsung akan berdampak pada situasi moneter di Indonesia.
BI mengedarkan uang rupiah kepada masyarakat melalui Perbankan, sehingga dapat menjaga sistem pembayaran di Indonesia tetap stabil. Termasuk uang rupiah dapat diakses oleh masyarakat di pedesaan dan pedalaman, melalui perpanjangan tangan BI yaitu Perbankan yang masuk ke daerah pelosok – seperti Bank Rakyat Indonesia.
BI juga menjaga stabilitas sistem keuangan melalui Perbankan dengan cara mengeluarkan berbagai peraturan seperti Loan to Value (LTV) terkait ketentuan pemberian kredit, KUR (Kredit Usaha Rakyat), Tabunganku, tak terkecuali biaya administrasi yang ditimpakan kepada top up e-money yang saat ini tengah ramai dibicarakan.
Melalui mekanisme seperti ini, maka baik Bank Indonesia maupun Perbankan memiliki keterkaitan satu sama lain, dan hampir tidak bisa dipisahkan karena BI mengendalikan Perekonomian melalui Perbankan, yang secara Makro dijalankan melalui peraturan Bank Indonesia serta Undang-undang Perbankan.
Tugas Utama OJK
Lalu bagaimana dengan OJK? Berdasarkan UU No 21 tentang OJK disebutkan bahwa OJK memiliki tiga misi utama yaitu :
  1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan dan akuntabel.
  2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil
  3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Dengan Tugas utama OJK yaitu melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap:
  • Kegiatan Jasa Keuangan di Sektor Perbankan
  • Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal
  • Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Tugas utama OJK yang terkait dengan Perbankan sebenarnya adalah tugas Bank Indonesia sebelum OJK terbentuk, sehingga beberapa hal penting yang terkait dengan Perbankan, saat ini masih dalam masa peralihan dari BI ke OJK.
Jika sebelumnya, masyarakat yang akan memanfaatkan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia (BI Checking) harus melalui Bank Indonesia, maka per 1 Januari 2018, Sistem tersebut digantikan oleh SLIK OJK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) yang dikelola oleh OJK.
Hubungan OJK dengan Bank Indonesia
Berdasarkan pasal 39 UU Nomor 21 tahun 2011, OJK dan Bank Indonesia dapat berkoordinasi dalam pengaturan dan pengawasan Perbankan, misalnya dalam hal kewajiban pemenuhan modal minimum bank, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, dan hal lain yang terkait. 
BI dan OJK juga dapat bersinergi dalam hal:
  • Koordinasi dalam membuat peraturan pengawasan Perbankan. Hal ini dimaksudkan agar tercapainya kesamaan persepsi antara BI dan OJK.
  • BI dan OJK berkoordinasi dalam tukar menukar informasi Perbankan, sehingga informasi tersebut dapat menunjang efektivitas pelaksanaan tugas kedua lembaga.
  • BI dan OJK akan terus melakukan hubungan timbal balik dalam hal pemeriksaan Perbankan, sehingga penanganan yang tepat dapat diambil dengan cepat.
Perbedaan BI dan OJK
Sehingga, dari paparan di atas dapat kita simpulkan benang merah perbedaan BI dan OJK sebagai berikut :
  1. BI akan berfokus pada menjaga kestabilan nilai rupiah, sedangkan OJK berfokus pada pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan di Indonesia.
  2. BI mengatur Perbankan secara makro melalui berbagai peraturan BI, SE (Surat Edaran) dan Undang-Undang yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kestabilan moneter. OJK akan mengatur Perbankan secara langsung (mikro) melalui kegiatan pengawasan, peraturan OJK, SE dan Undang-undang yang berdampak terhadap Perbankan.
  3. Nasabah yang mengalami keluhan terhadap pelayanan terkait industri keuangan dapat melaporkannya ke OJK, bukan ke BI. Termasuk keluhan terhadap pelayanan Bank, Leasing, Pasar Modal, hingga Investasi Bodong. Karena salah satu tugas utama OJK adalah melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
  4. Per 1 Januari 2018, BI Checking akan dialihkan ke SLIK OJK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) OJK.
http://www.simulasikredit.com/inilah-beberapa-perbedaan-antara-bi-dan-ojk/

Tuesday, July 17, 2018

BPR Hadapi Masalah Keterbatasan SDM Handal

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan operasional Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menghadapi persoalan kekurangan SDM mumpuni untuk melayani nasabah.
Heru Kristiana, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan 4 OJK, mengatakan (bisnis.com, Kamis (17/7/2014)):
  1. Sekitar 17% BPR mengalami kekurangan tenaga SDM yang berdampak terhadap lemahnya pelayanan, sehingga menyulitkan bersaing dengan bank umum.
  2. Sesuai standar OJK untuk SDM yang mengoperasikan satu kantor BPR minimal beranggotakan 12 orang. Namun pada kenyataannya 17% dari 1.634 BPR beroperasi dengan tenaga kerja di bawah standar tersebut.
Permasalahan lain yang dihadapi BPR antara lain:
  1. Minimnya ketersediaan modal untuk mengembangkan bisnis 
  2. Aspek good corporate governance (GCG) yang terabaikan
  3. Kuantitas dan kualitas SDM yang masih lemah.

Persoalan-persoalan itu membuat BPR sulit berkembang, sehingga terkesan beroperasi ala kadarnya. Dampak jangka panjang akan menurunkan kepercayaan nasabah dan sulit merealisasikan peran ikut serta menunjang pertumbuhan ekonomi daerah.
Problem kecukupan modal , akan menyulitkan BPR dalam merekrut SDM yang layak, misalnya yang memiliki ketajaman dalam melakukan analisis kredit.
Heru menyarankan pemilik modal tidak segan-segan menyuntikan dananya untuk pengembangan bisnis bank, sehingga mampu bersaing di tengah ketatnya industri perbankan. Selain itu, juga memperhatikan aspek GCG dengan ketersediaan direksi dan komisaris dengan kualifikasi baik.
Kemudian, pelaksanaan GCG terkait prosedur kerja dan analisis kredit yang didukung sarana memadai, serta melengkapi rasio SDM dengan kompetensi yang teruji. Meski sebenarnya kinerja BPR sejauh ini cukup aman tetapi harus digenjot karena persaingan bank amat ketat.
Sumber: http://finansial.bisnis.com/read/20140718/90/244416/bpr-hadapi-masalah-keterbatasan-sdm-handal

Lima Masalah Yang Menggerogoti BPR Secara Internal

Kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) saat ini masih menghadapi beberapa permasalahan, baik dari sisi internal dan eksternal. Hal ini diungkapkan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad dalam Seminar Kajian Pengembangan Produk dan Layanan Serta Strategi Branding Brand BPR di hotel Aryaduta, Jakarta, Senin, 10 Juli 2017.
Dari Sisi Internal BPR
  1. Keterbatasan modal
  2. Tata kelola (Good Corporate Governance-GOG) 
  3. Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM)
  4. Biaya dana mahal yang berdampak pada suku bunga
  5. Produk dan layanan yang belum variatif


Dari Sisi Eksternal BPR
Persaingan yang semakin meningkat. Saat ini segmen mikro dan kecil yang selama ini merupakan target pasar BPR juga dilayani oleh lembaga jasa keuangan lain selain bank seperti Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Koperasi Simpan Pinjam, credit union, dan Fintech, sehingga persaingan pada sektor mikro dan kecil menjadi sangat ketat.
Upaya OJK
Dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, OJK menerbitkan rangkaian ketentuan yang memperkuat pengaturan kelembagaan, seperti:
  1. Prudential banking
  2. teknologi informasi 
  3. Manajemen risiko 
  4. Tata kelola (GCG) 
  5. Kegiatan usaha yang sesuai dengan kapasitas permodalan BPR 
  6. Kajian pengembangan produk dan layanan serta strategi branding BPR
  7. Kajian tentang ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan OJK guna penguatan internal BPR.
Kajian meliputi pengembangan produk dan layanan BPR yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat yaitu produk dan layanan BPR berbasis jasa dan teknologi informasi, pengembangan produk tabungan sesuai siklus kehidupan, model skema generik kredit di sektor produktif.
Dari sisi bisnis, pengembangan produk dan layanan tersebut perlu didukung dengan strategi branding BPR untuk mendorong imej BPR yang positif dan professional, sehingga lebih dikenal di masyarakat dan mampu menghadapi persaingan.
Potensi  produk dan layanan BPR di antaranya: skema kredit untuk sektor pertanian dan petenakan, produk tabungan sesuai kebutuhan pada setiap fase hidup manusia (tabungan kelahiran, pendidikan, pernikahan), serta produk yang berbasis jasa keuangan dan produk berbasis TI.
Untuk membangun image positif BPR, produk dan layanan yang bervariasi tersebut perlu didukung pula dengan strategi branding BPR yang tepat sehingga terdapat identitas logo, tagline maupun roadmap transformasi branding BPR guna mewujudkan industri BPR yang modern dan profesional.
Sumber: http://infobanknews.com/ini-5-masalah-yang-gerogoti-bpr-secara-internal/

Fraud atau Pidana Perbankan Pada BPR

Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kasus fraud atau tindak pidana perbankan di Indonesia cukup tinggi. Hingga akhir triwulan III-2016, OJK mencatat ada 26 kasus tindak pidana perbankan, yang yang terdiri dari:

  1. Kasus kredit 55% 
  2. Rekayasa pencatatan 21% 
  3. Penggelapan dana 15%
  4. Transfer dana 5% 
  5. pengadaan aset 4%.
Bagaimana dengan tahun 2017 dan 2018? Semoga menurun dengan semakin efektifnya peran dewas dan juga direksi.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Nelson Tampubolon, menyebutkan tindak pidana perbankan paling banyak terjadi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sebanyak 80% tindak pidana yang terjadi di BPR membuat banyak BPR di Indonesia harus ditutup setiap tahunnya. "Sampai saat ini (triwulan III 2016) OJK mencatat ada lebih dari 1.800 BPR di Indonesia. Banyaknya BPR yang beroperasi di Indonesia membuat pengawasan BPR lebih sulit dibandingkan pengawasan bank umum lainnya. Dari segi aset, BPR juga memiliki aset yang relatif lebih kecil dibandingkan bank umum, sehingga seringkali dalam pengawasannya BPR tidak terlalu ketat. Faktor lokasi dan size-nya juga kecil pengawasan tidak sesimultan pengawasan pada bank umum,sehingga kemungkinan terjadinya fraud di BPR menjadi lebih tinggi," Kata Pak Nelson, dalam Sosialisasi Dugaan Tindak Pidana Perbankan dan Forum Anti Fraud di Gedung Bidakara 2, Jakarta Selatan, Senin (14/11/2016).

Pak Nelson menambahkan, kasus tindak pidana perbankan di bank umum relatif lebih kecil dibandingkan kasus di BPR. Secara umum, kecurangan di bank umum lebih cepat terdeteksi dan diatasi sehingga tidak menimbulkan efek yang berkepanjangan.

Inilah PR bagi dewas dan pengurus BPR

https://finance.detik.com/moneter/d-3344651/bpr-paling-banyak-lakukan-pidana-perbankan-ini-sebabnya

Thursday, July 12, 2018

Bank Indonesia Larang Bitcoin

Mulai tahun 2018 Bank Indonesia (BI) melarang transaksi pembayaran menggunakan bitcoin, larangan bitcoin diatur dalam peraturan Bank Indonesia (PBI) yang akan dikeluarkan dalam waktu dekat. Onny Widjanarko, Kepala Pusat Program Transformasi BI mengatakan, dalam PBI uang elektronik yang akan segera dikeluarkan, akan diatur salah satunya mengenai larangan penggunaan bitcoin. 

BI mengimbau agar merchant tidak menerima bitcoin sebagai alat pembayaran resmi di Indonesia. Jika masyarakat mengalami kerugian terkait bitcoin, regulator BI tidak akan bertanggung jawab terkait hal ini. 

Bank Indonesia (BI) berupaya berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan instansi lainnya untuk memperluas jangkauan larangan transaksi dengan bitcoin atau mata uang digital (cryptocurrency) lainnya di Indonesia. 

PT Bitcoin Indonesia mendukung larangan BI untuk tidak menggunakan mata uang virtual sebagai alat pembayaran. CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan mengaku sepaham dengan BI yang melarang menggunakan mata uang virtual sebagai alat pembayaran.

Ia mengakui alat pembayaran sah di Indonesia hanya rupiah. Menurutnya, bitcoin hanya merupakan aset digital, bukan alat tukar atau alat pembayaran.


Direktur Eksekutif Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eni V. Panggabean memastikan pihaknya akan menjatuhkan sanksi keras ke penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) maupun perbankan, yang melayani transaksi memakai Bitcoin dan mata uang digital lainnya.


Perkembangan pesat transaksi mata uang digital, dengan nilai permintaan yang berlebihan, berpotensi menciptakan gelembung harga (bubble). Karena itu, maraknya penggunaan mata uang digital bisa berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan.


Selain berbahaya bagi stabilitas, transaksi mata uang digital juga berbahaya bagi perlindungan konsumen, stabilitas sistem pembayaran dan rawan digunakan sebagai modus tindakan kejahatan seperti penampungan dana terorisme dan pencucian uang.

Belakangan, salah satu jenis mata uang digital, yakni Bitcoin makin populer di dalam negeri. Mata uang ini terkerek popularitasnya karena memiliki nilai tukar yang terus melonjak sampai 164 kali sejak April 2013 hingga Januari 2018. Nilainya kini ditaksir setara Rp214,4 juta. 

Menurut Eni, Bank Sentral berupaya memastikan bahwa transaksi dengan Bitcoin tidak akan bisa dicairkan melalui perusahaan jasa sistem pembayaran. Eni mengatakan bahwa larangan transaksi Bitcoin dan sejenisnya yang dikeluarkan sejak 2014 berlaku efektif. 

Karakteristik mata uang digital adalah t
idak ada regulator, pseudonim, nama penggunanya juga tersamarkan sehingga rentan digunakan sebagai tindak kejahatan, dan juga tidak ada otoritas sentral yang mengatur.​

Sumber: 
https://keuangan.kontan.co.id/news/bank-indonesia-larang-bitcoin-mulai-2018
https://tirto.id/bi-ajak-ojk-bappebti-perluas-jangkauan-larangan-transaksi-bitcoin-cDix
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180113093443-78-268599/bi-larang-jual-beli-bitcoin