Tuesday, August 14, 2018

Jumlah POJK Selama 2016

Salah satu persyaratan untuk sukses dalam menjalankan bisnis di sektor keuangan adalah memahami, menghayati, dan mematuhi berbagai peraturan yang berkaitan dengan jenis sektor bisnis keuangan yang ditekuninya. 

Luar biasa, selama tahun 2016 OJK telah mengeluarkan 77 POJK, silahkan klik tautan ini, kemudian silahkan cek POJK yang mana yang tekait dengan jenis bisnis keuangan Anda. Bagaimana dengan jumlah POJK selama tahun 2017, silahkan diidentifikasi langsung website OJK. Bagi yang lupa alamat, silahkan sentuh tautan ini.

Monday, August 6, 2018

Peraturan Tata Kelola BPR

NOMOR 4/POJK.03/2015

Dasar Pertimbangan

  1. Bahwa dengan semakin meluasnya pelayanan disertai peningkatan volume usaha Bank Perkreditan Rakyat, maka semakin meningkat pula risiko Bank Perkreditan Rakyat sehingga mendorong kebutuhan terhadap penerapan tata kelola oleh Bank Perkreditan Rakyat;
  2. Bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, melindungi pemangku kepentingan (stakeholders), dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada Perbankan, Bank Perkreditan Rakyat perlu segera menerapkan tata kelola; 
  3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat;
Landasan Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
  1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan.
  2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah.
  3. Direksi: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai badan usaha milik daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perkoperasian.
  4. Dewan Komisaris: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai badan usaha milik daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perkoperasian.
  5. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lainnya, Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. 
  6. Pihak Independen adalah pihak di luar BPR yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga dengan Direksi, Dewan Komisaris, pemegang saham pengendali, dan/atau tidak memiliki hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.
  7. Tata Kelola adalah tata kelola BPR yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).
  8. Pemangku Kepentingan (Stakeholders) adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha BPR.
  9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional BPR, antara lain pemimpin kantor cabang, kepala divisi, kepala bagian, kepala satuan kerja audit intern atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi audit intern, manajer, dan/atau pejabat lainnya yang setara.
  10. Komite Audit adalah komite yang membantu pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Dewan Komisaris terkait dengan audit intern dan ekstern.
  11. Komite Pemantau Risiko adalah komite yang membantu pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Dewan Komisaris terkait dengan penerapan manajemen risiko.
  12. Komite Remunerasi dan Nominasi adalah komite yang membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris terkait dengan remunerasi dan nominasi.

Pasal 2

  1. BPR wajib menerapkan Tata Kelola dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
  2. Penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi; b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris; c. kelengkapan dan pelaksanaan tugas atau fungsi komite; d. penanganan benturan kepentingan; e. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern; f. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern; g. batas maksimum pemberian kredit; h. rencana bisnis BPR; i. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan.

Pasal 3


Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap penerapan Tata Kelola BPR.

Sunday, August 5, 2018

Tugas dan Tanggungjawab Dewan Pengawas BPR

NOMOR 4/POJK.03/2015 

Jumlah, Komposisi, Kriteria dan Independensi Dewan Komisaris 

Pasal 24 

  1. BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Dewan Komisaris dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. 
  2. BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000. 000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. 
  3. Seluruh anggota Dewan Komisaris wajib bertempat tinggal di Indonesia dan paling sedikit 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris harus bertempat tinggal di provinsi yang sama atau di kota/kabupaten pada provinsi lain yang berbatasan langsung dengan provinsi lokasi kantor pusat BPR. 
Pasal 25 
  1. BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) wajib memiliki Komisaris Independen paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota Dewan Komisaris. 
  2. BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris Independen. 
  3. Mantan anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif BPR atau pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan BPR, yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen, tidak dapat menjadi Komisaris Independen pada BPR yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu (cooling off) selama 1 (satu) tahun. 
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi mantan anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif yang melakukan fungsi pengawasan. 
Pasal 26 
  1. BPR yang membentuk Komite Remunerasi dan Nominasi harus memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi dalam setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota Dewan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham. 
  2. Anggota Dewan Komisaris harus lulus uji kemampuan dan kepatutan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi BPR. 
Pasal 27 
  1. Anggota Dewan Komisaris hanya dapat mempunyai 2 (dua) rangkap jabatan lain sebagai Anggota Dewan Komisaris pada BPR dan/atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 
  2. Anggota Dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada BPR, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, dan/atau Bank Umum.
  3. Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan: a. sesama anggota Dewan Komisaris; atau b. anggota Direksi. 
Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris 

Pasal 28 
Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara independen. 

Pasal 29 
  1. Dewan Komisaris wajib memastikan terselenggaranya penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada setiap kegiatan usaha BPR di seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. 
  2. Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi serta memberikan nasihat kepada Direksi. 
  3. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris wajib mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis BPR. 
  4. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dilarang ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai kegiatan operasional BPR, kecuali terkait dengan: a. penyediaan dana kepada pihak terkait sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit BPR; dan b. hal-hal lain yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 
  5. Pengambilan keputusan oleh Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan bagian dari tugas pengawasan sehingga tetap menjadi tanggung jawab Direksi atas pelaksanaan tugas kepengurusan BPR.
Pasal 30 

Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan audit intern BPR, auditor ekstern, hasil pengawasan Dewan Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau otoritas lainnya. 

Pasal 31 

Dewan Komisaris wajib memberitahukan: 
  1. Pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan; dan/atau 
  2. Keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BPR; 
Kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditemukannya pelanggaran, keadaan atau perkiraan keadaan dimaksud. 

Pasal 32 
  1. Dalam rangka membantu pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya, Dewan Komisaris pada BPR dengan modal inti paling sedikit Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) wajib membentuk paling sedikit: a. Komite Audit; dan b. Komite Pemantau Risiko. 
  2. Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Remunerasi dan Nominasi dalam rangka membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. 
  3. Pengangkatan anggota Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. 
  4. Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang telah dibentuk, menjalankan tugasnya secara efektif.
Pasal 33 
  1. Dewan Komisaris wajib memiliki serta melaksanakan pedoman dan tata tertib kerja anggota Dewan Komisaris. 
  2. Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan: a. etika kerja; b. waktu kerja; dan c. peraturan rapat. 
Pasal 34 

Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal.

Rapat Dewan Komisaris 

Pasal 35 
  1. Rapat Dewan Komisaris wajib diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dan dihadiri oleh seluruh anggota Dewan Komisaris. 
  2. Agenda rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mengenai: a. rencana bisnis BPR; b. isu-isu strategis BPR; c. evaluasi/penetapan kebijakan strategis; dan/atau d. evaluasi realisasi rencana bisnis BPR. 
  3. Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan kehadiran langsung atau dilakukan dengan menggunakan teknologi telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. 
  4. Dewan Komisaris wajib menyelenggarakan rapat dengan agenda penetapan rencana bisnis BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. 
  5. Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diselenggarakan dengan kehadiran langsung.
Pasal 36 
  1. Pengambilan keputusan rapat Dewan Komisaris dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. 
  2. Dalam hal mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pengambilan keputusan rapat dilakukan berdasarkan suara terbanyak. 
  3. Hasil rapat Dewan Komisaris wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. 
  4. Perbedaan pendapat yang terjadi dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat tersebut.
Pasal 37 

  1. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan, Dewan Komisaris dapat meminta Direksi untuk memberikan penjelasan mengenai antara lain permasalahan, kinerja, dan kebijakan operasional BPR. 
  2. Permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam rapat antara Dewan Komisaris dengan Direksi. 
  3. Bila permintaan penjelasan dilakukan dalam bentuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan rapat wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. 
Pasal 38 
  1. Anggota Dewan Komisaris dilarang menggunakan BPR untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan BPR. 
  2. Anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari BPR selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham dengan memperhatikan kewajaran dan/atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan. 
Pasal 39 

Dalam rangka penerapan Tata Kelola, anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan: 
  1. Kepemilikan sahamnya, baik pada BPR yang bersangkutan maupun perusahaan lain; 
  2. Hubungan keuangan dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham BPR; dan 
  3. Remunerasi dan fasilitas lainnya yang diterima. 
Struktur dan Keanggotaan Komite 

Pasal 40 
  1. Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri dari: (a) Seorang Komisaris Independen; (b) Seorang Pihak Independen yang memiliki kompetensi dan/atau pengalaman di bidang keuangan atau akuntansi; dan  (3) Seorang Pihak Independen yang memiliki kompetensi dan/atau pengalaman di bidang hukum atau perbankan.
  2. Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen. 
  3. Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  4. Mayoritas anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Komisaris Independen dan Pihak Independen. 
  5. Anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c harus memiliki integritas yang baik. 
Pasal 41 
  1. Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri dari: a. seorang Komisaris Independen; b. seorang Pihak Independen yang memiliki kompetensi dan/atau pengalaman di bidang keuangan; dan c. seorang Pihak Independen yang memiliki kompetensi dan/atau pengalaman di bidang manajemen risiko. 
  2. Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen. 
  3. Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
  4. Mayoritas anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Komisaris Independen dan Pihak Independen. 
  5. Anggota Komite Pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c harus memiliki integritas yang baik.
Pasal 42 
  1. Dalam hal BPR membentuk Komite Remunerasi dan Nominasi, anggota Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang: a. Komisaris Independen; b. Komisaris; dan c. Pejabat Eksekutif. 
  2. Ketua Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Komisaris Independen. 
  3. Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
Jabatan Rangkap Ketua Komite 

Pasal 43 
Ketua dari komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat merangkap jabatan sebagai ketua komite pada 1 (satu) komite lainnya.

Tugas dan Tanggung Jawab Komite 

Pasal 44 

  1. Dalam rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan, Komite Audit melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit. 
  2. Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris, Komite Audit paling sedikit melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap: a. pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Intern; b. kesesuaian pelaksanaan audit oleh kantor akuntan publik dengan standar audit; c. kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku bagi BPR; d. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan satuan kerja audit intern atau pejabat yang menangani audit intern, akuntan publik, dan hasil pengawasan Dewan Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau otoritas lain. 
  3. Komite Audit wajib memberikan rekomendasi mengenai penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 45 
  1. Komite Pemantau Risiko memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris. 
  2. Dalam rangka memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komite Pemantau Risiko paling sedikit melakukan: a. evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan tersebut; b. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko.
Pasal 46 

Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) mempunyai tugas dan tanggung jawab paling sedikit mencakup: a. evaluasi dan rekomendasi terkait kebijakan remunerasi; dan b. penyusunan dan pemberian rekomendasi terkait kebijakan nominasi.

Pasal 47 

Dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, untuk melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris, Komite Remunerasi dan Nominasi paling sedikit melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap: a. kinerja keuangan dan pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; b. prestasi kerja individual; c. kewajaran dengan peer group; dan d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang BPR.

Pasal 48 
  1. BPR wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja bagi setiap anggota komite. 
  2. Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan: a. etika kerja; b. waktu kerja; dan c. peraturan rapat. 
Rapat Komite 

Pasal 49 
  1. Rapat Komite diselenggarakan sesuai dengan pedoman dan tata tertib yang telah ditetapkan. 
  2. Rapat Komite Audit atau Komite Pemantau Risiko dilaksanakan apabila dihadiri oleh mayoritas anggota Komite termasuk seorang Komisaris Independen dan Pihak Independen. 
  3. Dalam hal BPR membentuk Komite Remunerasi dan Nominasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2), Rapat Komite Remunerasi dan Nominasi harus dihadiri oleh mayoritas anggota Komite Remunerasi dan Nominasi, termasuk seorang Komisaris Independen dan Pejabat Eksekutif. 
Pasal 50 
  1. Pengambilan keputusan rapat Komite dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. 
  2. Dalam hal mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pengambilan keputusan rapat dilakukan berdasarkan suara terbanyak. 
  3. Hasil rapat Komite wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik. 
  4. Perbedaan pendapat yang terjadi dalam rapat Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat tersebut. 

Transparansi Keuangan BPR

NOMOR 48 /POJK.03/2017

Pertimbangan
  1. bahwa untuk menciptakan transparansi kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, Bank Perkreditan Rakyat mengumumkan laporan keuangan dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  2. bahwa untuk meningkatkan transparansi kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara publikasi kondisi keuangan Bank Perkreditan Rakyat dan informasi lainnya kepada publik secara berkala, akurat, dan benar; 
  3. bahwa penyusunan laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik bagi Bank Perkreditan Rakyat dan pedoman akuntansi Bank Perkreditan Rakyat; 
  4. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan diperlukan pengaturan kembali transparansi kondisi keuangan Bank Perkreditan Rakyat;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat;
Landasan Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
  1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  2. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPR dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yang berisi laporan keuangan tahunan dan informasi umum. 
  3. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman akuntansi BPR. 
  4. Laporan Keuangan Publikasi adalah laporan keuangan BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman akuntasi BPR serta dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 
  5. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember.
  6. Surat Komentar (Management Letter) adalah surat dari kantor akuntan publik yang berisi komentar tertulis dari akuntan publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur pengendalian intern, pelaksanaan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR atau masalah lain yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta saran perbaikannya.
  7. Direksi: a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
  8. Dewan Komisarisa. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Pasal 2
  1. BPR wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang terdiri atas: a. Laporan Tahunan; dan b. Laporan Keuangan Publikasi.
  2. Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dalam Bahasa Indonesia.
    LAPORAN TAHUNAN



    Pasal 3

    1. Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a paling sedikit memuat: a. informasi umum yang meliputi: 1. kepengurusan; 2. kepemilikan; 3. perkembangan usaha BPR; 4. strategi dan kebijakan manajemen; dan 5. laporan manajemen; b. Laporan Keuangan Tahunan yang terdiri atas: 1. neraca; 2. laporan laba rugi; 3. laporan perubahan ekuitas; 4. laporan arus kas; dan 5. catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi tentang komitmen dan kontinjensi; c. opini dari akuntan publik atas Laporan Keuangan Tahunan BPR yang diaudit oleh akuntan publik; d. seluruh aspek transparansi dan informasi yang diwajibkan untuk Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; e. seluruh aspek pengungkapan (disclosure) sebagaimana diwajibkan dalam standar akuntasi keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman akuntansi BPR; dan f. Surat Komentar (Management Letter) atas audit Laporan Keuangan Tahunan BPR.
    2. Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disusun untuk 1 (satu) Tahun Buku dan disajikan dengan perbandingan 1 (satu) Tahun Buku sebelumnya.
    Pasal 4
    1. BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan. 
    2. Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi BPR dengan mencantumkan nama secara jelas.
    3. Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan, Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh anggota Dewan Komisaris atau pejabat yang ditunjuk oleh rapat umum pemegang saham atau sesuai dengan anggaran dasar, dengan mencantumkan nama dan jabatan secara jelas.
    4. Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat akhir bulan April setelah Tahun Buku berakhir.
    Pasal 5
    1. Bagi BPR yang mempunyai total aset paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan wajib diaudit terlebih dahulu oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
    2. Bagi BPR yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan yaitu Laporan Keuangan Tahunan yang telah dipertanggungjawabkan oleh Direksi dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota.
    3. Dalam hal Laporan Keuangan Tahunan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh akuntan publik, Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan adalah Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit.
    4.  Apabila pelaksanaan audit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melewati batas waktu penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), selain menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPR menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterimanya hasil audit atas Laporan Keuangan.
    5. Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi BPR dan pedoman akuntansi BPR.
    Pasal 6

    BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan namun:
    1. Laporan Keuangan Tahunan BPR tidak diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); atau
    2. Laporan Keuangan Tahunan BPR belum dipertanggungjawabkan oleh Direksi kepada rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dinyatakan belum menyampaikan Laporan Tahunan.
    Pasal 7
    1. BPR dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Tahunan, apabila BPR menyampaikan Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), sampai dengan paling lambat 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
    2. BPR dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan apabila BPR belum menyampaikan Laporan Tahunan setelah batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    3. BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib menyampaikan Laporan Tahunan sebelum Tahun Buku berikutnya.

    LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI

    Pasal 8
    1. BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember sesuai dengan bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
    2. Laporan Keuangan Publikasi untuk posisi bulan Desember disusun berdasarkan Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
    3. Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b paling sedikit memuat: a. laporan keuangan yang terdiri atas: 1. neraca; 2. laporan laba rugi; dan 3. laporan komitmen dan kontinjensi; b. informasi lain yang paling sedikit terdiri atas: 1. kualitas aset produktif (KAP) untuk: a) penempatan pada bank lain; dan b) kredit yang diberikan, baik kepada pihak terkait maupun pihak tidak terkait; 2. rasio keuangan, yang terdiri atas: a) Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM); b) Non-Performing Loan (NPL); c) penyisihan penghapusan aset produktif (PPAP); d) Return On Asset (ROA); e) Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO); f) cash ratio; dan g) Loan to Deposit Ratio (LDR); dan c. susunan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan komposisi pemegang saham termasuk pemegang saham pengendali.
    4. Laporan Keuangan Publikasi triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disajikan dalam bentuk perbandingan dengan Laporan Keuangan Publikasi triwulanan tahun sebelumnya.
    Pasal 9


    1. BPR yang mempunyai total aset paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib: a. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, dan bulan September dalam surat kabar harian lokal atau menempelkan pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik; dan b. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember dalam surat kabar harian lokal dan menempelkan pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik.
    2. BPR yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember pada surat kabar harian lokal atau menempelkan pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik.
    3. Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan paling lambat pada: a. akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, dan bulan September; dan b. akhir bulan keempat setelah berakhirnya bulan laporan untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember.
    Pasal 10
    1. Dalam hal BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media lain yang mudah dibaca oleh publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Laporan Keuangan Publikasi wajib: a. ditempelkan di seluruh kantor BPR; dan b. ditempelkan secara terus menerus sampai dengan jangka waktu pelaporan berikutnya.
    2. BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi.
    Pasal 11
    1. BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi apabila mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi setelah batas akhir waktu pengumuman laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) sampai dengan paling lambat 1 (satu) bulan sejak batas akhir pengumuman laporan.
    2. BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi, apabila BPR belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi setelah batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    3. Dalam hal BPR telah mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi bulan Desember, namun: a. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tidak diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; atau b. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) belum dipertanggungjawabkan oleh Direksi kepada rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. BPR dinyatakan belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi bulan Desember.
    Pasal 12
    1. Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi dengan mencantumkan nama secara jelas.
    2. Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan, Laporan Keuangan Publikasi ditandatangani oleh anggota Dewan Komisaris atau pejabat yang ditunjuk oleh rapat umum pemegang saham atau sesuai anggaran dasar, dengan mencantumkan nama dan jabatan secara jelas.
    3. Bagi BPR yang laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik, Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember harus: a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan b. mencantumkan nama akuntan publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge) dan nama kantor akuntan publik yang mengaudit Laporan Keuangan Tahunan.
    Pasal 13

    BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa: 
    1. halaman surat kabar yang memuat Laporan Keuangan Publikasi; dan/atau 
    2. fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman atau media lain, paling lambat tanggal 14 setelah berakhirnya batas waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
    Pasal 14
    1. BPR wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat tanggal 14 setelah batas akhir pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
    2. Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, BPR menyampaikan laporan secara daring (online) melalui aplikasi laporan berkala BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR.
    3. BPR dapat dikecualikan dari kewajiban menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan laporan secara luring (offline), dalam hal: a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas jaringan telekomunikasi; b. BPR baru beroperasi dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. BPR mengalami gangguan teknis; dan/atau d. terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada pangkalan data (database) atau jaringan komunikasi Otoritas Jasa Keuangan, atau Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
    4. BPR dapat menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara luring (offline) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan beserta alasannya kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
    Pasal 15
    1. BPR dinyatakan terlambat menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian.
    2. BPR dinyatakan tidak menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), apabila BPR belum menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi setelah batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    3. Dalam hal BPR telah menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi namun data tidak sesuai dengan Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan, BPR dinyatakan belum menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi.

    Peraturan Tentang Direksi BPR

    NOMOR 4/POJK.03/2015

    Jumlah, Komposisi, Kriteria, dan Independensi Direksi

    Pasal 4
    1. BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Direksi.  
    2. BPR yang memiliki modal inti kurang dari  Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
    Pasal 5

    Seluruh anggota Direksi wajib bertempat tinggal di kota/kabupaten yang sama atau kota/kabupaten yang berbeda pada propinsi yang sama atau kota/kabupaten di provinsi lain yang berbatasan langsung dengan kota/kabupaten pada propinsi lokasi kantor pusat BPR.

    Pasal 6

    1. Mayoritas anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan: a. sesama anggota Direksi; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris.
    2. Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari modal disetor pada Bank dan/atau menjadi pemegang saham mayoritas di lembaga jasa keuangan non Bank.
    Pasal 7
    1. BPR yang membentuk Komite Remunerasi dan Nominasi harus memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi dalam setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota Direksi kepada Rapat Umum Pemegang Saham.
    2. Anggota Direksi harus memiliki pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan kemampuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR.
    3. Anggota Direksi harus lulus uji kemampuan dan kepatutan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi BPR.
    Pasal 8

    Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan pada Bank dan/atau perusahaan lain, kecuali sebagai pengurus asosiasi industri BPR dan/atau lembaga pendidikan dalam rangka peningkatan kompetensi sumber daya manusia BPR dan sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai anggota Direksi BPR.



    Pasal 9

    Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.



    Tugas dan Tanggung Jawab Direksi

    Pasal 10
    1. Direksi bertanggungjawab penuh atas pelaksanaan kepengurusan BPR.
    2. Direksi wajib mengelola BPR sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar BPR dan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 11

    Direksi wajib menerapkan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) pada setiap kegiatan usaha BPR di seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.


    Pasal 12

    Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan audit intern BPR, auditor ekstern, hasil pengawasan Dewan Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau otoritas lainnya.

    Pasal 13
    1. Dalam rangka melaksanakan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11: a. Direksi pada BPR dengan modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), wajib membentuk paling sedikit: 1) Satuan Kerja Audit Intern; 2) Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan 3) Satuan Kerja Kepatuhan. b. Direksi pada BPR dengan modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menunjuk Pejabat Eksekutif yang melaksanakan: 1) Fungsi audit intern; 2) Fungsi manajemen risiko; dan 3) Fungsi kepatuhan.
    2. Penerapan fungsi manajemen risiko termasuk pembentukan Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi BPR.
    Pasal 14

    Dalam rangka mendukung terselenggaranya Tata Kelola, Direksi wajib memastikan terpenuhinya jumlah sumber daya manusia yang memadai, antara lain dengan adanya:
    1. Pemisahan tugas dan tanggung jawab antara satuan atau unit kerja yang menangani pembukuan, operasional, dan kegiatan penunjang operasional; dan
    2. Penunjukan pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan audit intern, dan independen terhadap unit kerja lain.
    Pasal 15

    Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 16

    Direksi wajib mengungkapkan kebijakan BPR yang bersifat strategis di bidang kepegawaian kepada pegawai.

    Pasal 17

    Direksi dilarang menggunakan penasihat perorangan dan/atau penyedia jasa profesional sebagai konsultan kecuali memenuhi persyaratan:
    1. Untuk proyek bersifat khusus yang dari sisi karakteristik proyeknya membutuhkan adanya konsultan;
    2. Didasari perjanjian yang jelas, yang paling sedikit mencakup ruang lingkup pekerjaan, tanggung jawab, produk yang dihasilkan, dan jangka waktu pekerjaan serta biaya;
    3. Perorangan dan/atau penyedia jasa profesional adalah Pihak Independen dan memiliki kualifikasi untuk mengerjakan proyek yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a.
    Pasal 18

    Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan, dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris.

    Pasal 19
    1. Direksi wajib memiliki dan melaksanakan pedoman dan tata tertib kerja anggota Direksi.
    2. Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib mencantumkan: a. etika kerja; b. waktu kerja; dan c. peraturan rapat.
    Pasal 20

    Seluruh tindakan anggota Direksi yang diambil sesuai dengan pedoman dan tata tertib kerja atau Anggaran Dasar BPR mengikat dan menjadi tanggung jawab anggota Direksi bersangkutan dan/atau anggota Direksi lainnya sesuai dengan Anggaran Dasar BPR dan/atau peraturan perundang-undangan.

    Rapat Direksi

    Pasal 21

    1. Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan dalam rapat Direksi dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4).
    2. Pengambilan keputusan rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.
    3. Dalam hal mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pengambilan keputusan rapat dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
    4. Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik.
    5. Perbedaan pendapat yang terjadi dalam pengambilan keputusan rapat dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat tersebut.
    Aspek Transparansi Direksi

    Pasal 22
    Dalam rangka penerapan Tata Kelola, anggota Direksi wajib mengungkapkan:
    1. Kepemilikan sahamnya pada BPR yang bersangkutan dan perusahaan lain;
    2. Hubungan keuangan dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi lain dan/atau pemegang saham BPR.
    Pasal 23
    1. Anggota Direksi dilarang menggunakan BPR untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan BPR.
    2. Anggota Direksi dilarang mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari BPR, selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham dengan memperhatikan kewajaran dan/atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan.
    3. Anggota Direksi wajib mengungkapkan remunerasi dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam laporan penerapan Tata Kelola.

    Saturday, August 4, 2018

    Peraturan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme

    NOMOR 12/POJK.01/2017

    Pertimbangan:
    1. Bahwa dengan semakin berkembangnya kompleksitas produk dan layanan jasa keuangan termasuk pemasarannya (multi channel marketing), serta semakin meningkatnya penggunaan teknologi informasi pada industri jasa keuangan maka semakin tinggi risiko Penyedia Jasa Keuangan digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; 
    2. Bahwa peningkatan risiko yang dihadapi Penyedia Jasa Keuangan perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas penerapan program anti Pencucian Uang dan/atau pencegahan Pendanaan Terorisme yang didasarkan pada pendekatan berbasis risiko (risk based approach) sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional;
    3. Bahwa perlu adanya harmonisasi dan integrasi pengaturan mengenai penerapan program anti Pencucian Uang dan/atau pencegahan Pendanaan Terorisme di sektor jasa keuangan;
    4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan;
    Landasan Hukum

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164);
    2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
    3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406);
    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1
    Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
    1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
    2. Penyedia Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat PJK adalah PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar Modal, dan PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank.
    3. PJK di Sektor Perbankan adalah bank umum, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat yang selanjutnya disebut BPR, dan bank pembiayaan rakyat syariah yang selanjutnya disebut BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perbankan.
    4. PJK di Sektor Pasar Modal adalah perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi, serta bank umum yang menjalankan fungsi kustodian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
    5. PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan (DPLK), perusahaan pembiayaan, perusahan modal ventura (PMV), perusahaan pembiayaan infrastruktur, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia (LPEI), perusahaan pergadaian, lembaga keuangan mikro (LKM), dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Industri Keuangan Non Bank.
    6. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
    7. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan Terorisme.
    8. Calon Nasabah adalah pihak yang akan menggunakan jasa PJK.
    9. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PJK.
    10. Walk in Customer yang untuk selanjutnya disingkat WIC adalah pihak yang menggunakan jasa PJK di Sektor Perbankan atau PJK di Sektor Pasar Modal namun tidak memiliki rekening pada PJK di Sektor Perbankan atau PJK di Sektor Pasar Modal tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah.
    11. Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang selanjutnya disingkat CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan oleh PJK untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC.
    12. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence) yang selanjutnya disingkat EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan PJK terhadap Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah, yang berisiko tinggi termasuk PEP dan/atau dalam area berisiko tinggi.
    13. Nasabah Berisiko Tinggi (High Risk Customers) adalah Nasabah yang berdasarkan latar belakang, identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan kegiatan terkait tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
    14. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan Terorisme.
    15. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi keuangan tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
    16. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
    17. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang selanjutnya disingkat APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
    18. Direksi: a. bagi PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar Modal, PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas; bagi BPR, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pembiayaan, PMV, perusahaan pembiayaan infrastruktur, perusahaan pergadaian, LKM atau penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perkoperasian; bagi perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau perusahaan pialang asuransi berbentuk badan hukum usaha bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; d. bagi PMV (Perusahaan Modal Ventura) berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah yang setara dengan direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi DPLK adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai dana pensiun; f. bagi LPEI adalah direktur eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai LPEI; dan g. bagi BPR berbentuk hukum perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan daerah, atau perusahaan daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah.
    19. Dewan Komisaris: a. bagi PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar Modal, PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas; b. bagi BPR, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pembiayaan, PMV, perusahaan pembiayaan infrastruktur, perusahaan pergadaian, LKM, atau penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perkoperasian; c. bagi perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau perusahaan pialang asuransi berbentuk badan hukum usaha bersama adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah yang setara dengan dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi DPLK adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai dana pensiun; f. bagi LPEI adalah dewan direktur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; dan g. bagi BPR berbentuk hukum perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan daerah, atau perusahaan daerah, adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah.
    20. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) adalah setiap orang yang: a. berhak atas dan/atau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan rekening Nasabah; b. merupakan pemilik sebenarnya dari dana dan/atau efek yang ditempatkan pada PJK (ultimately own account); c. mengendalikan transaksi Nasabah; d. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi; e. mengendalikan korporasi atau perikatan lainnya (legal arrangement); dan/atau f. merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian.
    21. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kelompok yang terorganisasi, baik yang merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum, antara lain: perusahaan, yayasan, koperasi, perkumpulan keagamaan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non profit, dan organisasi kemasyarakatan.
    22. Rekomendasi Financial Action Task Force yang untuk selanjutnya disebut Rekomendasi FATF adalah standar pencegahan dan pemberantasan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang dikeluarkan oleh FATF. 
    23. Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) adalah negara atau teritori yang potensial digunakan sebagai tempat: a. terjadinya atau sarana tindak pidana Pencucian Uang; b. dilakukannya tindak pidana asal (predicate crime); dan/atau c. dilakukannya aktivitas pendanaan kegiatan terorisme.
    24. Lembaga Negara adalah lembaga yang memiliki kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
    25. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif dari unit organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas dan fungsinya, meliputi: a. kementerian koordinator; b. kementerian negara; c. kementerian; d. Lembaga Negara non kementerian; e. pemerintah propinsi; f. pemerintah kota; g. pemerintah kabupaten; h. Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang; dan i. lembaga-lembaga negara yang menjalankan fungsi pemerintahan dengan menggunakan anggaran pendapatan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah.
    26. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Person) yang selanjutnya disingkat PEP meliputi: a. PEP Asing yaitu orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara lain (asing), seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah senior, pejabat militer atau pejabat di bidang penegakan hukum, eksekutif senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara, pejabat penting dalam partai politik; b. PEP Domestik yaitu orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara, seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah senior, pejabat militer atau pejabat dibidang penegakan hukum, eksekutif senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara, pejabat penting dalam partai politik; dan c. Orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh organisasi internasional, seperti senior manajer yang meliputi antara lain direktur, deputi direktur, dan anggota dewan atau fungsi yang setara.
    27. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank (correspondent) dalam menyediakan layanan jasa bagi bank lainnya (respondent) berdasarkan suatu kesepakatan tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan jasa perbankan lainnya.
    28. Cross Border Corespondent Banking adalah Correspondent Banking dimana salah satu kedudukan bank correspondent atau bank respondent berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
    29. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan bank umum syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perbankan.
    30. Transfer Dana adalah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana.
    31. Bank Pengirim adalah bank yang mengirimkan perintah Transfer Dana.
    32. Bank Penerus adalah bank yang meneruskan perintah Transfer Dana dari Bank Pengirim.
    33. Bank Penerima adalah bank yang menerima perintah Transfer Dana.
    34. Konglomerasi Keuangan (Financial Group) adalah PJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian.

    KEWAJIBAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR JASA KEUANGAN



    Pasal 2

    PJK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi (delivery channels), termasuk kewajiban untuk:

    1. Mendokumentasikan penilaian risiko;
    2. Mempertimbangkan seluruh faktor risiko yang relevan sebelum menetapkan tingkat keseluruhan risiko, serta tingkat dan jenis mitigasi risiko yang memadai untuk diterapkan;
    3. Mengkinikan penilaian risiko secara berkala; dan
    4. Memiliki mekanisme yang memadai terkait penyediaan informasi penilaian risiko kepada instansi yang berwenang.

    Pasal 3
    1. PJK wajib memiliki kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, yang disetujui oleh Direksi dan Dewan Komisaris, agar PJK mampu mengelola dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi.
    2. PJK wajib memantau penerapan kebijakan, pengawasan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan meningkatkan penerapannya jika diperlukan.
    3. PJK wajib menetapkan tindakan yang lebih mendalam untuk mengelola dan memitigasi risiko dalam hal risiko yang lebih tinggi teridentifikasi.

      Pasal 4



      PJK wajib menerapkan program APU dan PPT untuk mengelola dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi berdasarkan penilaian risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan yang telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan OJK ini.



      Pasal 5

      1. Program APU dan PPT merupakan bagian dari penerapan manajemen risiko PJK secara keseluruhan.
      2. Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kebijakan dan prosedur; c. pengendalian intern; d. sistem informasi manajemen; dan e. sumber daya manusia dan pelatihan.
      BAB III
      PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS

      Bagian Pertama

      Pengawasan Aktif Direksi
      Pasal 6
      Pengawasan aktif Direksi paling kurang meliputi:
      1. Memastikan PJK memiliki kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT;
      2. Mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis yang bersifat strategis mengenai penerapan program APU dan PPT kepada Dewan Komisaris;
      3. Memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan;
      4. Membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT;
      5. Melakukan pengawasan atas kepatuhan unit kerja dalam menerapkan program APU dan PPT;
      6. Memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penerapan program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi di sektor jasa keuangan serta sesuai dengan perkembangan modus Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; dan
      7. Memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari satuan kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan penerapan program APU dan PPT secara berkala.
      Bagian Kedua
      Pengawasan Aktif Dewan Komisaris

      Pasal 7
      Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang meliputi:
      1. Memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT yang diusulkan oleh Direksi;
      2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT; dan 
      3. Memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi dan Dewan Komisaris.
      Bagian Ketiga
      Penanggung Jawab Penerapan Program APU dan PPT
      Paragraf 1: Umum

      Pasal 8
      1. PJK wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat sebagai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, pada kantor pusat dan kantor cabang.
      2. Unit kerja khusus dan/atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi PJK dan bertanggung jawab kepada Direksi.
      3. Bagi bank umum, BPR, dan PJK di Sektor Pasar Modal, unit kerja khusus dan/atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan.
      4. Bagi BPRS dan PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank, penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat dilaksanakan oleh salah satu anggota Direksi.
      5. PJK wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kemampuan yang memadai dan memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait.
      6. Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal merupakan perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi dalam satu badan usaha, PJK di Sektor Pasar Modal tersebut dapat hanya memiliki satu penanggung jawab penerapan program APU dan PPT.
      7. Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal merupakan bank kustodian, penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat ditugaskan kepada penanggung jawab bank kustodian atau dirangkap oleh penanggung jawab penerapan program APU dan PPT pada bank umum.
      8. Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal berupa bank kustodian yang merupakan kantor cabang bank asing, penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dilakukan oleh pimpinan kantor cabang bank asing tersebut.
      Paragraf 2
      Unit Kerja Khusus

      Pasal 9
      Dalam hal PJK membentuk unit kerja khusus sebagai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, berlaku ketentuan sebagai berikut:
      1. Unit kerja khusus paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pelaksana;
      2. Pimpinan dan pelaksana pada unit kerja khusus tidak merangkap fungsi lain;
      3. Pimpinan unit kerja khusus ditetapkan/diangkat oleh Direksi;
      4. Unit kerja khusus berada di bawah koordinasi Direksi secara langsung dalam struktur organisasi PJK; dan 
      5. Unit kerja khusus bersifat independen dari fungsi lain.
      Paragraf 3
      Penugasan Pejabat
      Pasal 10

      Dalam hal PJK menugaskan pejabat sebagai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, pejabat tersebut harus ditetapkan atau diangkat oleh Direksi dan hanya dapat merangkap untuk melaksanakan fungsi manajemen risiko dan/atau fungsi kepatuhan.

      Paragraf 4
      Tugas dan Wewenang

      Pasal 11

      Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas paling kurang meliputi:
      1. Menganalisis secara berkala penilaian risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme terkait dengan Nasabahnya, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi (delivery channels);
      2. Menyusun, melakukan pengkinian, dan mengusulkan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT yang telah disusun untuk mengelola dan memitigasi risiko berdasarkan penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada huruf a, untuk dimintakan pertimbangan dan persetujuan Direksi;
      3. Memastikan adanya sistem yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah;
      4. Memastikan bahwa kebijakan dan prosedur yang disusun sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang meliputi antara lain produk, jasa, dan teknologi di sektor jasa keuangan, kegiatan dan kompleksitas usaha PJK, volume transaksi PJK, dan modus Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme;
      5. Memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan dalam penerapan program APU dan PPT;
      6. Memantau rekening Nasabah dan pelaksanaan transaksi Nasabah;
      7. Melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis transaksi Nasabah untuk memastikan ada atau tidak adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan, Transaksi Keuangan Tunai dan/atau transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri;
      8. Menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi;
      9. Memastikan pengkinian data dan profil Nasabah serta data dan profil transaksi Nasabah;
      10. Memastikan bahwa kegiatan usaha yang berisiko tinggi terhadap tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme diidentifikasi secara efektif sesuai dengan kebijakan dan prosedur PJK serta ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini;
      11. Memastikan adanya mekanisme komunikasi yang baik dari setiap satuan kerja terkait kepada unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT dengan menjaga kerahasiaan informasi dan memperhatikan ketentuan anti tipping-off;
      12. Melakukan pengawasan terkait penerapan program APU dan PPT terhadap satuan kerja terkait;
      13. Memastikan adanya identifikasi area yang berisiko tinggi yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan sumber informasi yang memadai;
      14. Menerima, melakukan analisis, dan menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang disampaikan oleh satuan kerja;
      15. Menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Transaksi Keuangan Tunai, dan/atau transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri;
      16. Memastikan seluruh kegiatan dalam rangka penerapan program APU dan PPT terlaksana dengan baik; dan
      17. Memantau, menganalisis, dan merekomendasikan kebutuhan pelatihan tentang penerapan program APU dan PPT bagi pejabat dan/atau pegawai PJK.
      Pasal 12

      Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai wewenang paling kurang meliputi:
      1. Memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di seluruh unit organisasi PJK;
      2. Melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap penerapan program APU dan PPT oleh unit kerja terkait;
      3. Mengusulkan pejabat dan/atau pegawai unit kerja terkait untuk membantu penerapan program APU dan PPT; dan
      4. Melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Transaksi Keuangan Tunai, dan/atau transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pihak terafiliasi dengan Direksi atau Dewan Komisaris, secara langsung kepada PPATK.
      BAB IV
      KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
      Pasal 13
      1. PJK wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola dan memitigasi risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang diidentifikasi sesuai dengan penilaian risiko.
      2. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi: a. identifikasi dan verifikasi Nasabah; b. identifikasi dan verifikasi Beneficial Owner; c. penutupan hubungan usaha atau penolakan transaksi; d. pengelolaan risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang berkelanjutan terkait dengan Nasabah, negara, produk dan jasa serta jaringan distribusi (delivery channels); e. pemeliharaan data yang akurat terkait dengan transaksi, penatausahaan proses CDD, dan penatausahaan kebijakan dan prosedur; f. pengkinian dan pemantauan; g. pelaporan kepada pejabat senior, Direksi dan Dewan Komisaris terkait pelaksanaan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT; dan h. pelaporan kepada PPATK.
      3. Khusus untuk bank umum, cakupan pedoman pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pula Cross Border Correspondent Banking dan Transfer Dana.
      4. PJK wajib menerapkan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara konsisten dan berkesinambungan.
      5. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat persetujuan dari Direksi.
      Pasal 14
      1. PJK wajib mengidentifikasi dan melakukan penilaian risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme yang terkait dengan pengembangan produk dan praktik usaha baru, termasuk mekanisme distribusi baru, dan penggunaan teknologi baru atau pengembangan teknologi untuk produk baru maupun produk yang telah ada.
      2. PJK wajib melakukan penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum produk, praktik usaha dan teknologi diluncurkan atau digunakan.
      3. PJK wajib melakukan tindakan yang memadai untuk mengelola dan memitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
      Pasal 15
      PJK wajib melakukan prosedur CDD pada saat:
      1. Melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah;
      2. Terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); 
      3. Terdapat transaksi Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini;
      4. Terdapat indikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; atau
      5. PJK meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Calon Nasabah, Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
      Pasal 16

      1. PJK wajib mengelompokkan Calon Nasabah dan Nasabah berdasarkan tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
      2. Pengelompokkan Calon Nasabah dan Nasabah berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan analisis yang paling kurang meliputi: a. identitas Nasabah; b. lokasi usaha bagi Nasabah perusahaan; c. profil Nasabah; d. frekuensi transaksi; e. kegiatan usaha Nasabah; f. struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan; g. produk, jasa, dan jaringan distribusi (delivery channels) yang digunakan oleh Nasabah; dan h. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat risiko Nasabah.

      Pasal 17
      1. Dalam rangka melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah, PJK wajib: a. melakukan identifikasi Calon Nasabah untuk mengetahui profil Calon Nasabah; dan b. melakukan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung Calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
      2. PJK wajib melakukan verifikasi kebenaran identitas Calon Nasabah melalui pertemuan langsung (face to face) dengan Calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas Calon Nasabah.
      3. Proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digantikan dengan verifikasi melalui sarana elektronik milik PJK.
      4. Proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. verifikasi dilakukan melalui proses dan sarana elektronik milik PJK dan/atau milik Calon Nasabah; dan b. verifikasi wajib memanfaatkan data kependudukan yang memenuhi 2 (dua) faktor otentikasi.
      Pasal 18
      1. PJK dilarang membuka atau memelihara rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif.
      2. PJK dilarang membuka hubungan usaha dengan Calon Nasabah atau memelihara rekening Nasabah apabila: a. Calon Nasabah atau Nasabah menolak untuk mematuhi peraturan yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT; atau b. PJK tidak dapat meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen Calon Nasabah atau Nasabah.
      Bagian Pertama
      Identifikasi dan Verifikasi Calon Nasabah dan Nasabah

      Pasal 19
      PJK wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan Calon Nasabah atau Nasabah ke dalam kelompok orang perseorangan (natural person), Korporasi, dan perikatan lainnya (legal arrangement).

      Pasal 20
      1. Identifikasi Calon Nasabah untuk mengetahui profil Calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, dilakukan melalui permintaan data dan informasi yang paling kurang meliputi: a. bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural person): 1. identitas yang memuat:  a) nama lengkap termasuk nama alias (jika ada); b) nomor dokumen identitas; c) alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain (jika ada); d) tempat dan tanggal lahir; e) kewarganegaraan; f) pekerjaan; g) alamat dan nomor telepon tempat kerja (jika ada); h) jenis kelamin; dan i) status perkawinan; 2. Identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), jika ada;  3. Sumber dana; 4. Penghasilan rata-rata per tahun; dan 5. Maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah. b. bagi Calon Nasabah Korporasi: 1. nama; 2. nomor izin dari instansi berwenang; 3. bidang usaha atau kegiatan; 4. alamat kedudukan; 5. tempat dan tanggal pendirian; 6. bentuk badan hukum atau badan usaha; 7. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); 8. sumber dana; dan 9. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah. c. bagi Calon Nasabah perikatan lainnya (legal arrangement): 1. nama; 2. nomor izin dari instansi berwenang (jika ada); 3. alamat kedudukan; 4. bentuk perikatan (legal arrangement); 5. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); 6. sumber dana; dan 7. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah.
      2. Berkaitan dengan transaksi WIC, sebelum melakukan transaksi dengan WIC, PJK di Sektor Perbankan dan PJK di Sektor Pasar Modal wajib meminta: a. seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi WIC orang perseorangan (natural person), Korporasi, maupun perikatan lainnya (legal arrangement) yang melakukan transaksi paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; b. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 huruf a), huruf b), dan huruf c) bagi WIC orang perseorangan (natural person) yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara; c. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 4 bagi WIC Korporasi yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara; dan d. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 dan angka 3 bagi WIC perikatan lainnya (legal arrangement) yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara.
      Pasal 21
      Untuk Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) dan WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1 wajib didukung dengan dokumen identitas Calon Nasabah dan spesimen tanda tangan.

      Pasal 22
      1. Untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b wajib didukung dengan dokumen identitas perusahaan dan: a. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil ditambah dengan: 1. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK; 2. kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 3. surat izin tempat usaha atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang; b. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil selain disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 dan angka 3, ditambah dengan:  1. laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan; 2. struktur manajemen perusahaan; 3. struktur kepemilikan perusahaan; dan 4. dokumen identitas anggota Direksi atau pemegang kuasa dari anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan hubungan usaha.
      2. Untuk Calon Nasabah Korporasi berupa PJK, dokumen yang disampaikan paling sedikit meliputi: a. akta pendirian/anggaran dasar PJK; b. izin usaha dari instansi yang berwenang; dan c. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama PJK dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK.
      Pasal 23
      1. Untuk Calon Nasabah selain Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) dan Korporasi berupa perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b. 
      2. PJK wajib meminta dokumen pendukung informasi untuk Calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi: a. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa yayasan: 1. izin kegiatan yayasan; 2. deskripsi kegiatan yayasan; 3. struktur dan nama pengurus yayasan; dan 4. dokumen identitas anggota pengurus atau pemegang kuasa dari anggota pengurus yang berwenang mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan PJK. b. untuk Calon Nasabah Korporasi selain perusahaan dan yayasan baik yang merupakan badan hukum, maupun bukan badan hukum: 1. bukti izin dari instansi yang berwenang; 2. nama Korporasi; 3. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART); dan 4. dokumen identitas pihak yang berwenang mewakili Korporasi dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK. c. untuk Calon Nasabah berupa perikatan lainnya (legal arrangement): 1. bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang; 2. nama perikatan; 3. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) (jika ada); dan 4. dokumen identitas pihak yang berwenang mewakili perikatan lainnya (legal arrangement) dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK.
      Pasal 24
      1. Untuk Calon Nasabah berupa Lembaga Negara, Instansi Pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing, PJK wajib meminta informasi mengenai nama dan alamat kedudukan lembaga, instansi atau perwakilan tersebut. 
      2. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan dokumen meliputi: a. surat penunjukan bagi pihak yang berwenang mewakili lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha; dan b. spesimen tanda tangan pihak yang berwenang mewakili lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha.
      Pasal 25
      1. PJK wajib melakukan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung Calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, berdasarkan dokumen dan/atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya dan independen serta memastikan bahwa data tersebut adalah data terkini.
      2. PJK wajib melakukan verifikasi bahwa pihak yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah telah mendapatkan otorisasi dari Nasabah, dan melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap identitas dari pihak tersebut. 
      3. Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang telah diidentifikasi berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan oleh PJK dan wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK ini. 
      4. PJK dapat melakukan wawancara dengan Calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen, dalam hal terdapat keraguan atas data, informasi, dan/atau dokumen pendukung yang diterima.
      5. Dalam hal terdapat keraguan, PJK wajib meminta kepada Calon Nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang untuk memastikan kebenaran identitas Calon Nasabah.
      6. PJK wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas Calon Nasabah dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), sebelum membuka hubungan usaha dengan Calon Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan WIC.
      7. Dalam hal PJK telah menerapkan prosedur manajemen risiko, PJK dapat melakukan hubungan usaha atau transaksi sebelum proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) selesai.
      8. Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib diselesaikan sesegera mungkin, setelah terjadinya hubungan usaha nasabah dengan PJK, dengan memperhatikan bahwa risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dapat dikelola secara efektif dan bahwa proses pertemuan langsung ini tidak mengganggu kegiatan usaha secara normal.
      Pasal 26
      PJK wajib memahami profil, maksud dan tujuan hubungan usaha, dan transaksi yang dilakukan Nasabah dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) melalui identifikasi dan verifikasi.

      Bagian Kedua
      Identifikasi dan Verifikasi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)

      Pasal 27
      1. PJK wajib memastikan Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC yang membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
      2. Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC bertindak untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
      3. Dalam hal Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tergolong sebagai PEP maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur EDD.
      4. Dalam hal terdapat perbedaan tingkat risiko antara Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), penerapan CDD dilakukan mengikuti tingkat risiko yang lebih tinggi. 
      5. Kewajiban melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi calon Nasabah, Nasabah atau WIC yang memiliki tingkat risiko rendah.
      Pasal 28
      1. Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah atau WIC bukan merupakan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib melakukan identifikasi dan verifikasi identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), antara lain berupa: a. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC orang perseorangan (natural person) berupa: 1. informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21; 2. hubungan hukum antara Calon Nasabah, Nasabah atau WIC dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya; 3. pernyataan dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan  4. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) bahwa yang bersangkutan adalah pemilik sebenarnya dari dana Calon Nasabah, Nasabah atau WIC; b. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC Korporasi berupa: 1. informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan Pasal 22; 2. hubungan hukum antara Calon Nasabah, Nasabah atau WIC dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang ditunjukkan dengan  surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya; 3. dokumen dan/atau informasi identitas orang perseorangan (natural person), jika ada, yang menjadi pemilik atau pengendali akhir dari Korporasi; 4. pernyataan dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan 5. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) bahwa yang bersangkutan adalah pemilik sebenarnya dari dana Calon Nasabah, Nasabah, WIC. c. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC perikatan lainnya (legal arrangement) berbentuk trust, berupa: 1. identitas penitip harta (settlor); 2. identitas penerima dan pengelola harta (trustee); 3. identitas penjamin (protector) (jika ada); 4. identitas penerima manfaat (beneficiary) atau kelas penerima manfaat (class of beneficiary); dan 5. orang perseorangan (natural person) yang mengendalikan trust. d. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC perikatan lainnya (legal arrangement) dalam bentuk lainnya, berupa identitas orang perseorangan (natural person) yang mempunyai posisi yang sama atau setara dengan pihak dalam trust sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
      2. Dalam hal PJK ragu mengenai apakah pihak yang menjadi pengendali melalui kepemilikan adalah Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau dalam hal tidak ada orang perseorangan yang memiliki pengendalian melalui kepemilikan, PJK wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas identitas dari orang perseorangan (jika ada) yang mengendalikan Korporasi atau legal arrangements melalui bentuk lain.
      3. Dalam hal tidak ada orang perseorangan yang teridentifikasi sebagai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2), PJK wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas identitas dari orang perseorangan yang relevan yang memegang posisi sebagai direksi atau yang dipersamakan dengan jabatan tersebut.
      4. Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC merupakan PJK lain di dalam negeri yang bertindak untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dokumen mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dapat berupa pernyataan tertulis dari Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC.
      5. Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC merupakan PJK lain di luar negeri yang menerapkan program APU dan PPT yang paling kurang setara dengan Peraturan OJK ini yang mewakili Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), maka dokumen mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) berupa pernyataan tertulis dari PJK di luar negeri bahwa identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) telah dilakukan verifikasi oleh PJK di luar negeri tersebut.
      6. Dalam hal penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang dilakukan oleh PJK di luar negeri tidak setara dengan Peraturan OJK ini, PJK dimaksud wajib menerapkan program APU dan PPT berdasarkan Peraturan OJK ini.
      7. Dalam hal PJK meragukan atau tidak dapat meyakini identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC.
      Pasal 29

      Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b angka 2 tidak berlaku bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) berupa: a. Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah; b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara; atau c. perusahaan publik atau emiten.

      Bagian Ketiga
      Identifikasi dan Verifikasi
      Calon Nasabah dan Nasabah Berisiko Tinggi

      Pasal 30
      1. PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko yang memadai untuk menentukan apakah Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk kriteria berisiko tinggi.
      2. Kriteria berisiko tinggi dari Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat dari: a. latar belakang atau profil Calon Nasabah, Nasabah Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk Nasabah Berisiko Tinggi (High Risk Customers); b. produk sektor jasa keuangan yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; c. transaksi dengan pihak yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries); d. transaksi tidak sesuai dengan profil; e. termasuk dalam kategori PEP; f. bidang usaha Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk usaha yang berisiko tinggi (High Risk Business); g. negara atau teritori asal, domisili, atau dilakukannya transaksi Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries); h. tercantumnya Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris; atau i. transaksi yang dilakukan Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC diduga terkait dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan, tindak pidana Pencucian Uang, dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme.
      Pasal 31
      1. PJK wajib melakukan penilaian untuk menentukan Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC adalah PEP.
      2. Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC tergolong berisiko tinggi, termasuk PEP, PJK wajib melakukan EDD.
        Pasal 32
        1. Terhadap PEP Asing, selain menerapkan proses CDD sebagaimana diatur dalam Pasal 20, PJK wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki sistem manajemen risiko untuk menentukan apakah Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) memenuhi kriteria PEP; b. menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC tersebut; c. melakukan EDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), sumber dana, dan sumber kekayaan; dan d. pemantauan yang lebih ketat atas hubungan usaha antara lain melalui peningkatan jumlah dan frekuensi pengawasan dan pemilihan pola transaksi.
        2. Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berwenang untuk: a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang tergolong berisiko tinggi; dan b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha dengan Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang tergolong berisiko tinggi.
        Pasal 33
        Terhadap PEP domestik atau orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) dalam organisasi internasional, selain menerapkan proses CDD sebagaimana diatur dalam Pasal 20, PJK wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
        1. PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko untuk menentukan apakah Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) memenuhi kriteria PEP; dan 
        2. Dalam hal terdapat risiko yang lebih tinggi atas hubungan usaha antara PJK dengan Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) tersebut, PJK wajib menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d.
        Pasal 34
        Ketentuan yang berlaku bagi Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang berisiko tinggi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku pula bagi anggota keluarga atau pihak yang terkait (close associates) dari PEP.

        Pasal 35
        Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang memenuhi kriteria berisiko tinggi dibuat dalam daftar tersendiri.

        Pasal 36
        Dalam hal PJK melakukan hubungan usaha dengan Nasabah dan/atau melakukan transaksi yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) yang dipublikasikan oleh FATF untuk dilakukan langkah pencegahan (countermeasures), PJK wajib melakukan EDD dengan meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada otoritas terkait.

        Bagian Keempat
        CDD Terhadap Penerima Manfaat (Beneficiary) dari Asuransi Jiwa dan Produk Investasi lain Terkait Polis Asuransi

        Pasal 37

        1. Selain CDD yang dipersyaratkan bagi Calon Nasabah dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana diatur dalam Pasal 15, PJK wajib melakukan CDD terhadap penerima manfaat (beneficiary) dari asuransi jiwa dan produk investasi lain terkait dengan polis asuransi, segera setelah penerima manfaat (beneficiary) diidentifikasi atau ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk penerima manfaat (beneficiary) yang telah diidentifikasi sebagai perorangan atau non perorangan, PJK wajib meminta nama orang perseorangan (natural person) atau Korporasi atau perikatan lainnya (legal arrangement) dari penerima manfaat (beneficiary) tersebut; atau b. untuk penerima manfaat (beneficiary) yang telah ditunjuk berdasarkan karakteristik atau berdasarkan cara lain, PJK wajib meminta informasi yang memadai mengenai penerima manfaat (beneficiary) untuk meyakinkan PJK bahwa informasi tersebut dapat digunakan untuk membuktikan identitas dari penerima manfaat (beneficiary) pada saat pembayaran klaim asuransi. 
        2. Seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dicatat dan dikelola sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK ini.
        3. Verifikasi terhadap identitas penerima manfaat (beneficiary) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan pada saat pembayaran klaim asuransi.

        Pasal 38
        1. PJK wajib memasukkan penerima manfaat (beneficiary) dari polis asuransi jiwa sebagai salah satu faktor risiko yang relevan dalam memastikan apakah EDD perlu diterapkan.
        2. Dalam hal PJK menetapkan bahwa penerima manfaat (beneficiary) termasuk dalam kategori berisiko tinggi atau PEP, PJK wajib melakukan EDD yang mencakup pula identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari penerima manfaat (beneficiary) pada saat pembayaran klaim asuransi.
        Pasal 39

        Dalam hal penerima manfaat (beneficiary) dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari penerima manfaat (beneficiary) pada saat pembayaran klaim asuransi jiwa adalah PEP, PJK wajib menginformasikan kepada pejabat senior sebelum pembayaran klaim asuransi jiwa untuk melakukan pengawasan lebih lanjut terkait hubungan usaha dengan pemegang polis dan melaporkannya sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.

        Bagian Kelima
        CDD Sederhana

        Pasal 40
        1. PJK dapat menerapkan prosedur CDD sederhana dari prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 28, terhadap Calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria sebagai berikut: a. tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran atau penerimaan gaji; b. Calon Nasabah berupa emiten atau perusahaan publik yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang kewajiban untuk mengungkapkan kinerjanya; c. Calon Nasabah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pemerintah; d. Calon Nasabah merupakan Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah; e. tujuan pembukaan rekening terkait dengan program pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan/atau pengentasan kemiskinan; dan/atau f. Calon Nasabah yang berdasarkan penilaian risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria Calon Nasabah dengan profil dan karakteristik sederhana.
        2. Terhadap Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib meminta informasi dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1 huruf a), huruf b), huruf c), dan huruf d); b. bagi Calon Nasabah Korporasi, Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 4; c. bagi Calon Nasabah perikatan lainnya (legal arrangement) yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c angka 1 dan angka 3; dan d. bagi Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1 huruf a), huruf c), huruf d), dan huruf f)
        3. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didukung dengan: a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. dokumen identitas perusahaan ditambah dengan spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan, bagi Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; c. dokumen identitas perusahaan dan dokumen identitas anggota Direksi atau pemegang kuasa dari anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan, bagi Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c; atau  d. dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas yang dapat memberikan keyakinan kepada PJK tentang profil Calon Nasabah tersebut, dan spesimen tanda tangan, bagi Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.
        4. PJK dapat menerapkan prosedur CDD sederhana tersendiri sesuai dengan penilaian risiko atas Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f. 
        5. Dalam hal PJK menerapkan prosedur CDD sederhana tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PJK wajib memberitahukan hal tersebut kepada OJK dimana pemberitahuan tersebut meliputi informasi mengenai: a. kriteria identifikasi Nasabah dan transaksi berisiko rendah konsisten dengan penilaian risiko yang dilakukan oleh PJK; b. persyaratan CDD sederhana mampu mengelola tingkat ancaman Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme terhadap Calon Nasabah dan transaksinya yang telah diidentifikasi dengan tingkat risiko rendah terhadap Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; c. persyaratan CDD sederhana tidak mencakup Nasabah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai Nasabah atau transaksi yang berisiko tinggi; dan d. waktu dimulainya penerapan prosedur CDD sederhana.
        6. PJK wajib mengimplementasikan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan prosedur CDD sederhana tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
        7. Prosedur CDD sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme atau tingkat risikonya meningkat.
        8. PJK wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang mendapat perlakuan CDD sederhana.
        9. Dalam hal penggunaan rekening tidak sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka PJK wajib melakukan prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 terhadap Nasabah yang bersangkutan.
          Bagian Keenam
          Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga

          Pasal 41
          1. PJK dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap Calon Nasabahnya yang telah menjadi Nasabah pada pihak ketiga tersebut.
          2. Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib: a. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26; dan b. mengidentifikasi dan memverifikasi Nasabah dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29. 
          3. Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga, tanggung jawab CDD tetap berada pada PJK tersebut.
          4. Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD pihak ketiga: a. PJK wajib sesegera mungkin mendapatkan informasi yang diperlukan terkait dengan prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 28; b. PJK wajib memiliki kerja sama dengan pihak ketiga dalam bentuk kesepakatan tertulis; c. PJK wajib mengambil langkah yang memadai untuk memastikan bahwa pihak ketiga bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen pendukung segera apabila dibutuhkan oleh PJK dalam rangka penerapan program APU dan PPT; d. PJK wajib memastikan bahwa pihak ketiga merupakan lembaga keuangan dan penyedia barang dan/atau jasa dan profesi tertentu yang memiliki prosedur CDD dan tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. PJK wajib memperhatikan informasi terkait risiko negara tempat pihak ketiga tersebut berasal.
          5. Dalam hal pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berkedudukan di Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries), maka pihak ketiga tersebut wajib memenuhi kriteria: a. berada dalam Konglomerasi Keuangan (financial group) yang sama dengan PJK; b. Konglomerasi Keuangan (financial group) tersebut telah menerapkan CDD, penatausahaan dokumen, dan program APU dan PPT secara efektif sesuai dengan Rekomendasi FATF; dan c. Konglomerasi Keuangan (financial group) tersebut diawasi oleh otoritas yang berwenang.
          6. Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga yang merupakan Konglomerasi Keuangan (financial group) yang sama maka PJK atau perusahaan induk harus mempertimbangkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Konglomerasi Keuangan (financial group) menerapkan ketentuan CDD, penatausahaan dokumen, dan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini; b. terhadap implementasi atas CDD, penatausahaan dokumen, dan program APU dan PPT dilakukan pengawasan Konglomerasi Keuangan (financial group) oleh otoritas yang berwenang; dan c. terhadap Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) telah dilakukan mitigasi risiko secara memadai oleh unit APU dan PPT berdasarkan kebijakan program APU dan PPT di tingkat Konglomerasi Keuangan (financial group).
          Bagian Ketujuh
          Penolakan Transaksi dan Penutupan Hubungan Usaha

          Pasal 42
          1. PJK wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam hal Calon Nasabah atau WIC: a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 28; b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu; c. menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya; dan/atau d. berbentuk shell bank atau bank umum atau bank umum syariah yang mengizinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank.
          2. PJK wajib menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah dalam hal: a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi; b. memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana; dan/atau c. Calon Nasabah atau Nasabah terdapat dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
          3. PJK tetap wajib menyelesaikan proses identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Calon Nasabah atau WIC dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dalam hal terdapat penolakan hubungan usaha dengan Calon Nasabah dan/atau penolakan transaksi dengan WIC berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
          4. Dalam hal PJK menduga adanya transaksi keuangan terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, dan PJK meyakini bahwa proses CDD akan melanggar ketentuan anti tipping-off, PJK wajib tidak melanjutkan prosedur CDD dan wajib melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut kepada PPATK.
          5. PJK wajib mendokumentasikan Calon Nasabah, Nasabah atau WIC yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
          6. PJK wajib melaporkan Calon Nasabah, Nasabah atau WIC sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila transaksinya mencurigakan.
          7. Kewajiban PJK untuk menolak, membatalkan dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembukaan rekening dan diberitahukan kepada Nasabah.
          Pasal 43
          1. Dalam hal dilakukan penutupan hubungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), PJK wajib memberitahukan secara tertulis kepada Nasabah mengenai penutupan hubungan usaha tersebut.
          2. Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nasabah tidak mengambil sisa dana yang tersimpan di PJK maka penyelesaian terhadap sisa dana Nasabah yang tersimpan di PJK dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
          Bagian Kedelapan
          Pengkinian dan Pemantauan

          Pasal 44
          1. PJK wajib melakukan pemantauan terhadap hubungan usaha dengan Nasabah dengan cara memantau transaksi Nasabah untuk memastikan bahwa transaksi yang dilakukan sejalan dengan pemahaman PJK atas Nasabah, kegiatan usaha dan profil risiko Nasabah, termasuk sumber dananya.
          2. PJK wajib melakukan upaya pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 28 dalam hal terdapat perubahan yang diketahui dari pemantauan PJK terhadap Nasabah atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
          3. PJK wajib mendokumentasikan upaya pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
          4. Dalam melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PJK wajib: a. melakukan pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah; b. menyusun laporan rencana pengkinian data; dan c. menyusun laporan realisasi pengkinian data.
          5. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c wajib mendapat persetujuan dari Direksi.
          Pasal 45
            1. PJK wajib melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah. 
            2. PJK dapat meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah, dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
            3. Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) PJK wajib memiliki sistem yang dapat: a. mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai profil, karakteristik dan/atau kebiasaan pola transaksi yang dilakukan oleh Nasabah; dan b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan, termasuk penelusuran atas identitas Nasabah, bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, serta sumber dana yang digunakan untuk transaksi.
            4. Dalam hal data dan/atau informasi yang disampaikan Nasabah tidak memberikan penjelasan yang meyakinkan, maka PJK wajib melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut kepada PPATK.
            5. PJK wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan terhadap hubungan usaha/transaksi dengan: a. Nasabah yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries); dan b. PJK yang berkedudukan di Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries).
            Pasal 46
              1. PJK wajib memelihara daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
              2. PJK wajib melakukan identifikasi dan memastikan secara berkala nama Nasabah yang memiliki kesamaan nama dan informasi lain atas Nasabah dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
              3. Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib memastikan kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang terkait.
              4. Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib segera melakukan pemblokiran secara serta merta dan melaporkannya sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
              Bagian Kesembilan
              Cross Border Correspondent Banking

              Pasal 47
              1. Sebelum menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank wajib memahami kegiatan usaha Bank Penerima dan/atau Bank Penerus dengan meminta informasi mengenai: a. profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; b. reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus berdasarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan; c. tingkat penerapan program APU dan PPT di negara tempat kedudukan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; dan d. informasi relevan lain yang diperlukan Bank untuk mengetahui profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus.
              2. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada informasi publik yang memadai yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
              3. Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus.
              4. Bank wajib melakukan penilaian terhadap penerapan program APU dan PPT pada Bank Penerima dan/atau Bank Penerus.
              5. Bank wajib memahami tanggung jawab penerapan program APU dan PPT dari masing-masing pihak yang terkait dengan kegiatan Cross Border Corespondent Banking.
              Pasal 48
              Bank wajib melakukan CDD terhadap Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang disesuaikan dengan pendekatan berdasarkan risiko (risk based approach) apabila: 
              1. Terdapat perubahan profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang bersifat substansial; dan/atau 
              2. Informasi pada profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang tersedia belum dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1).
              Pasal 49
              Dalam hal terdapat Nasabah yang mempunyai akses terhadap payable through account dalam jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank Pengirim wajib memastikan:
              1. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus telah melaksanakan proses CDD dan pemantauan yang memadai yang paling kurang sama dengan yang diatur dalam Peraturan OJK ini; dan
              2. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus bersedia untuk menyediakan data identifikasi Nasabah yang terkait apabila diminta oleh Bank Pengirim.
              Pasal 50
              Bank Pengirim yang menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking wajib:
              1. Mendokumentasikan seluruh transaksi Cross Border Correspondent Banking;
              2. Menolak untuk berhubungan dan/atau meneruskan hubungan Cross Border Correspondent Banking dengan shell bank; dan 
              3. Memastikan bahwa Bank Penerima dan/atau Bank Penerus tidak mengijinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank pada saat mengadakan hubungan usaha terkait dengan Cross Border Correspondent Banking.
              Bagian Kesepuluh
              Transfer Dana

              Pasal 51
              1. Bagi Bank yang melakukan kegiatan Transfer Dana baik di dalam wilayah Indonesia maupun secara lintas negara berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Bank Pengirim wajib:  1. memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah/WIC pengirim dan/atau Nasabah/WIC penerima, paling kurang meliputi: a) nama Nasabah atau WIC pengirim; b) nomor rekening Nasabah pengirim; c) alamat Nasabah atau WIC pengirim; d) nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim; e) sumber dana Nasabah atau WIC pengirim; f) nama Nasabah atau WIC penerima; g) nomor rekening Nasabah penerima; h) alamat WIC penerima; i) jumlah uang dan jenis mata uang; dan j) tanggal transaksi; 2. Menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada Bank Penerima; dan 3. Mendokumentasikan seluruh transaksi Transfer Dana; b. Bank Penerus wajib meneruskan pesan dan perintah Transfer Dana, serta menatausahakan informasi yang diterima dari Bank Pengirim; c. Bank Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi Nasabah pengirim dan WIC pengirim sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1; 
              2. Untuk kegiatan Transfer Dana di dalam wilayah Indonesia, Bank Pengirim wajib menyampaikan secara tertulis informasi yang dibutuhkan dalam waktu 3 (tiga) hari kerja berdasarkan permintaan tertulis dari Bank Penerima, dan/atau dari otoritas yang berwenang apabila Bank Penerima hanya memperoleh informasi nomor rekening atau nomor referensi transaksi.
              Pasal 52
              1. Dalam hal terdapat beberapa Transfer Dana dari satu Nasabah atau WIC pengirim yang tergabung dalam satu dokumen yang ditujukan kepada beberapa Nasabah atau WIC penerima, dokumen tersebut wajib memuat informasi mengenai Nasabah atau WIC pengirim dan informasi mengenai Nasabah atau WIC penerima secara lengkap.
              2. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dapat ditelusuri di negara Nasabah atau WIC penerima.
              3. Bank wajib mencantumkan nomor rekening atau nomor referensi transaksi Nasabah atau WIC pengirim.
              Pasal 53
              Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikecualikan terhadap:
              1. Transfer Dana yang menggunakan kartu debit, kartu ATM maupun kartu kredit; atau
              2. Transfer Dana yang dilakukan antar PJK dan untuk kepentingan PJK dimaksud.
              Pasal 54
              1. Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1 tidak dipenuhi maka Bank Pengirim wajib menolak untuk melaksanakan Transfer Dana. 
              2. Dalam hal Bank Penerus dan/atau Bank Penerima menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1 maka Bank Penerus dan/atau Bank Penerima dapat: a. melaksanakan Transfer Dana; b. menolak untuk melaksanakan Transfer Dana; atau c. menunda transaksi Transfer Dana, disertai dengan tindak lanjut yang memadai. 
              3. Dalam menentukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Penerus dan/atau Bank Penerima wajib memiliki kebijakan dan prosedur berbasis risiko.
              Pasal 55
              Dalam hal terdapat Transfer Dana yang memenuhi kriteria Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme, Bank wajib melaporkan Transfer Dana tersebut sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.

              Bagian Kesebelas
              Penatausahaan Dokumen

              Pasal 56
              1. PJK wajib menatausahakan: a. dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak: 1. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah atau WIC; atau 2. ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha; b. dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan transaksi keuangan dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai dokumen perusahaan.
              2. Dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi: a. identitas Nasabah atau WIC termasuk dokumen pendukungnya; b. informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi; c. hasil analisis yang telah dilakukan; dan d. korespondensi dengan Nasabah atau WIC.
              3. PJK wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai seluruh proses identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
              4. PJK wajib memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang ditatausahakan apabila diminta oleh OJK dan/atau otoritas lain yang berwenang.
              BAB V
              PENGENDALIAN INTERN

              Pasal 57
                1. PJK wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif.
                2. Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan dengan: a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang memadai; b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan c. dilakukannya pemeriksaan secara independen untuk memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT.
                BAB VI
                PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT DI JARINGAN KANTOR DAN ANAK PERUSAHAAN

                Pasal 58
                1. Konglomerasi Keuangan (financial group) wajib menerapkan program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di dalam dan di luar negeri, serta memantau pelaksanaannya termasuk: a. kebijakan dan prosedur pertukaran informasi untuk tujuan CDD dan manajemen risiko terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme; b. pengaturan, pada fungsi kepatuhan, fungsi audit, dan fungsi APU dan PPT pada level grup harus mendapatkan informasi mengenai nasabah, rekening, dan transaksi untuk tujuan APU dan PPT dari seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan; dan c. dalam melaksanakan pertukaran informasi tersebut, Konglomerasi Keuangan (financial group) wajib memiliki ketentuan yang memadai mengenai keamanan informasi.
                2. Seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di dalam dan di luar negeri wajib mengimplementasikan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
                3. Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor dan anak perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan OJK ini, kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud.
                4. Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor dan anak perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mematuhi Rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar program APU dan PPT yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan OJK ini, kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini.
                5. Dalam hal penerapan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan kantor dan anak perusahaan berada, maka pejabat kantor PJK di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat PJK dan OJK bahwa kantor PJK dimaksud tidak dapat menerapkan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini.
                BAB VII
                SISTEM INFORMASI MANAJEMEN

                Pasal 59
                1. PJK wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
                2. PJK wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara terpadu (single customer identification file), paling kurang meliputi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 24 ayat (1).
                3. PJK wajib memiliki dan memelihara profil WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a.
                4. Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) wajib mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme.
                BAB VIII
                SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN

                Pasal 60

                Untuk mencegah digunakannya PJK sebagai media atau tujuan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang melibatkan pihak intern PJK, PJK wajib melakukan:
                1. Prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan baru (pre employee screening); dan
                2. Pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan.
                Pasal 61
                PJK wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang:
                1. Penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT;
                2. Teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; dan
                3. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan memberantas Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
                BAB IX
                PELAPORAN

                Pasal 62
                1. PJK wajib menyampaikan kepada OJK: a. action plan penerapan program APU dan PPT paling lambat pada akhir bulan Mei 2017; b. penyesuaian kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan OJK ini; c. laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf b. disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember; dan d. laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf c disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember.
                2. Dalam hal tanggal pelaporan jatuh pada hari libur, penyampaian laporan dilakukan pada hari berikutnya.
                3. Dalam hal terdapat perubahan atas action plan, kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT, laporan rencana kegiatan pengkinian data, yang telah disampaikan kepada OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c, PJK wajib menyampaikan perubahan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan.
                4. Kewajiban PJK untuk menyampaikan laporan kepada OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat menjadi bagian dari laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan.
                Pasal 63
                1. PJK wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan Transaksi Keuangan Tunai dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
                2. Kewajiban PJK untuk melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan terorisme.
                3. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK.
                BAB X
                KETENTUAN LAIN-LAIN

                Pasal 64
                PJK wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang berwenang dalam rangka memberantas tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme.

                BAB XI
                SANKSI
                Pasal 65
                1. PJK yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu kewajiban membayar sejumlah uang dengan rincian sebagai berikut: a. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bagi PJK berupa bank umum, perusahaan efek, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, DPLK, perusahaan pembiayaan infrastruktur, LPEI, perusahaan pergadaian dan manajer investasi; atau b. sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) bagi PJK berupa BPR, BPRS, perusahaan pembiayaan, dan PMV.
                2. LKM dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
                Pasal 66
                1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini selain pelanggaran atas keterlambatan penyampaian laporan, dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan atau teguran tertulis; b. denda dalam bentuk kewajiban membayar sejumlah uang; c. penurunan dalam penilaian tingkat kesehatan; d. pembatasan kegiatan usaha tertentu; e. pembekuan kegiatan usaha tertentu; f. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK; dan/atau g. pencantuman anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, pegawai PJK, pemegang saham dalam daftar orang tercela di sektor jasa keuangan.
                2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
                3. Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
                4. OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada publik/masyarakat.
                BAB XII
                KETENTUAN PERALIHAN

                Pasal 67
                1. PJK yang telah memiliki kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur dimaksud sesuai Peraturan OJK ini, paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
                2. Bagi LKM dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, ketentuan pada Peraturan OJK ini dinyatakan berlaku setelah 4 (empat) tahun terhitung sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
                BAB XIII
                KETENTUAN PENUTUP

                Pasal 68

                Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan program APU dan PPT di sektor jasa keuangan diatur dalam Surat Edaran OJK.

                Pasal 69

                Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam: 
                1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 290, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5385); 
                2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 290, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5385);
                3. Peraturan OJK Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 353, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5631); dan
                4. Peraturan OJK Nomor 39/POJK.05/2015 tentang Penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Industri Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 320, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5790), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
                Pasal 70
                Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 


                Salinan ini sesuai dengan aslinya
                Direktur Hukum 1
                Departemen Hukum
                ttd
                Yuliana
                Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Maret 2017

                KETUA DEWAN KOMISIONER
                OTORITAS JASA KEUANGAN,
                ttd
                MULIAMAN D. HADAD
                Diundangkan di Jakarta
                pada tanggal 21 Maret 2017

                MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                REPUBLIK INDONESIA,
                ttd
                YASONNA H. LAOLY
                LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 57